Chapter 18 [Hilang]

1.1K 36 0
                                    

SDH
.
.
.

Sandra segera berbaring di atas tempat tidurnya dengan dibantu oleh Mamanya yang begitu setia menemaninya sejak tadi.

Karena diizinkan oleh dokter untuk tidak perlu dirawat, makanya ia berakhir di rumah bersama Mamanya setelah diantar oleh Arvind.

Papanya juga sudah pulang, Arvind kembali ke rumahnya. Namun, sampai sekarang ia tidak melihat keberadaan Papanya dan tidak mendapat kabar dari Arvind lagi sejak ia pulang tadi.

Sandra memalingkan posisi tubuhnya untuk menghadap tembok sembari memeluk bantal gulingnya, tidak lupa pula untuk mengecek isi ponselnya yang tidak pernah ia absen sejak pagi tadi.

"Yang lain aja udah pada nge-chat, nanya kondisi. Kenapa Arvind belum ngehubungin sampai sekarang." Gumam Sandra frustasi.

Ia kembali menggulir beberapa pesan dari teman-temannya yang mendoakan agar ia tidak sampai jatuh sakit yang berlarut-larut. Ada juga yang terlihat begitu khawatir dengan kondisinya yang tiba-tiba drop, ada pula yang mengomel karena keteledoran yang ia lakukan.

Banyak orang yang peduli, namun sepertinya ia tidak tertarik. Karena hanya ada satu peduli yang benar-benar ia harapkan untuk ia dapatkan. Ia bahkan sudah membayangkan bagaimana sikap Arvind jika sudah berada di rumah, namun realita tidaklah seindah ekspektasi.

Karena pada kenyataannya ekspektasi selalu lebih menggoda dan banyak diinginkan, walaupun realita selalu jauh dari apa yang diharapkan. Realita selalu datang dengan luka, tidak seperti ekspektasi yang mengagumkan untuk diimpikan.

Bagi Sandra, semua hal bisa langsung menjadi tidak menarik hanya karena hal paling menarik di matanya tidak bisa ia dapatkan. Dan seperti itulah perasaan Sandra saat ini, ia sedang sakit dan menunggu perhatian Arvind yang bahkan sudah hampir satu jam sejak ia pamit untuk pulang.

"Apa Arvind enggak pulang ya, malah keluyuran sama temen-temen." Gumam Sandra sambil memijat pangkal keningnya yang masih terasa pening.

"Atau karena emang pada dasarnya gue enggak penting kali ya, makanya Arvind enggak ngehubungin gue." Sambungnya putus asa.

Sesaat kemudian, ia memalingkan kembali posisi tidurnya dan memutar lagu yang ia harapkan bisa memperbaiki moodnya. Ia ingin berpikiran positif tentang Arvind jika dalam keadaan seperti itu, namun selalu saja gagal. Ia tidak suka harus selalu bertengkar hampir setiap hari hanya karena kesalahpahaman.

Dan kesalahpahaman itu muncul karena ada pihak yang kerap menghilang, pergi tanpa kabar, atau memang sengaja tidak dibalas. Ia paling benci ketika ia harus menunggu sesuatu hal yang tidak pasti. Bilangnya pulang ternyata tidak pulang, bilangnya mau tidur ternyata main game atau sosial media lainnya, bilangnya mau ke satu tempat ternyata ke banyak tempat.

Ia sendiri tidak masalah jika hal itu terjadi asalkan komunikasinya lancar, tetapi jika sudah diberi dispensasi dan malah melonjak siapa yang tidak sebal. Hal ini yang sangat Sandea benci, izin pulang tapi tidak tahu tersangkut di tempat mana karena tidak ada komunikasi. Yang ada cuma diberi kekhawatiran saja.

"Sayang? Kenapa melamun?" Tegur Mama yang tiba-tiba datang dengan membawa sebuah nampan yang berisi mangkuk bubur dan air.

Sandra mendengus. Ia jadi semakin tidak berminat setelah melihat semangkuk bubur itu, sudah tidak ada kabar dari Arvind dan sekarang harus ditambah dengan penderitaan karena harus makan bubur.

"Ma? Apa enggak bisa makan nasi aja?" Ujar Sandra yang begitu tidak berselera melihat makanan yang disimpan Mamanya di atas meja.

Mama menoleh. "Lah? Kan tadi Mama tanya, bikin bubur aja atau beliin makanan. Kamu bilangnya bikin aja."

 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚 (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang