Chapter 10 [Kecewa]

2.2K 54 0
                                    

SDH
.
.
.
.
.

Arvind menatap Sandra sekilas dari kaca spion motornya, Sandra memberenggut menampilkan raut wajah kecewanya. Sebenarnya ia tidak tahu harus berkata apa pada Sandra, karena jika sudah seperti ini apa yang akan ia katakan akan mendapatkan banyak sanggahan dari Sandra, untung baik jika Sandra mau mendengarkan karena biasanya Sandra lebih memilih untuk tidak mendengarkan.

Sandra tidak akan mau menerima alasannya, baik dalam bentuk apapun alasan itu. Karena saat sedang marah, Sandra hanya akan percaya pada apa yang ia lihat dan dengarkan secara langsung. Tidak akan ada peluang untuk semua penjelasannya.

Namun jika dibiarkan berlama-lama, Sandra bisa semakin menjadi-jadi dengan kemarahannya itu. Sandra akan bersikap egois sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Dan selama itu juga, ia akan kewalahan menghadapi Sandra yang tidak mau mendengarkannya. Apa-apa pasti akan ada saja yang dikait-kaitkan nantinya.

Selain itu pula, tidak ada orang yang bisa membantunya menghilangkan kemarahan Sandra padanya kecuali Sandra sendiri yang ingin dan atau sudah lelah untuk tetap marah. Karena kekasihnya itu termasuk orang yang tidak suka mendengarkan perkataan orang lain. Ia lebih suka dan lebih mempercayai apa yang ia lihat walaupun yang dilihatnya itu tidak sesuai dengan kenyataannya.

Dan untuk menunggu kapan Sandra akan kembali baik itu yang akan begitu menyiksa. Bisa-bisa blokir akan kembali bekerja pada semua akun media sosial agar ia tidak bisa menghubungi Sandra.

Sejauh perjalanan mereka menuju rumah Sandra tidak ada sama sekali percakapan lagi keluar dari bibir masing-masing.

Tak terasa mereka sudah berada di jalan menuju rumah Sandra, motornya mencari posisi untuk berhenti tepat di depan rumah Sandra.

Baru saja ia ingin memulai pembicaraan, Sandra sudah masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia ditinggal begitu saja oleh Sandra masuk ke dalam rumah, padahal biasanya Sandra akan menunggu sampai ia pergi dan tidak terlihat lagi di ujung jalan sana.

Sebenarnya ia juga kesal, karena Sandra seharusnya tidak perlu marah karena semua itu juga ketidaksengajaan. Ia juga tidak berniat untuk terlibat insiden tabrakan dengan Diandra siang tadi, namun ia akan lebih keterlaluan lagi jika harus ikutan marah saat Sandra sedang menunjukkan kekecewaan padanya.

"Padahal enggak sengaja, San." Cicit Arvind sambil memperhatikan Sandra memasuki pintu rumahnya.

Ia memilih untuk menyalakan kembali mesin motornya, dan bersiap untuk melaju kembali di tengah keramaian jalanan di siang itu. Ia menoleh sekilas ke arah pintu rumah, berharap Sandra akan keluar dan menahannya.

Namun, biasanya harapan hanyalah sebuah harapan. Ada yang tidak bisa langsung terwujud. "Kayaknya kamu kecewa banget ya."

"Maafin aku ya."

Arvind berbalik dan mengendarai kembali motornya, menghilang di tengah keramaian jalan di bawah terik matahari yang amat menyengat. Dengan segala rasa bersalah yang ia bawa pulang, ia seperti orang yang tidak memiliki semangat karena selalu mengingat masalahnya dengan Sandra. Ia benar-benar tidak sengaja terlibat dengan insiden itu.

***

Setibanya di dalam kamar, Sandra melempar tasnya ke atas meja belajar dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Menatap kosong motif-motif gambar bantalnya yang tidak pernah berubah-berubah.

Ia sangat lelah, lelah menghadapi proses persekolahan dengan tugasnya yang bejibun dan lelah menghadapi hubungannya dengan Arvind yang selalu berada di zona kuning ditambah lagi banyaknya ancaman dari berbagai pihak. Padahal yang menjalani itu ia dan Arvind, kenapa harus banyak pihak yang ikut campur dengan hubungannya.

 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚 (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang