Membuka mata, aku menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong. Rasanya aneh, aku tidak merasakan lelah sekalipun walaupun tidak bisa terlelap semalaman. Sisa-sisa percakapan semalam masih berputar-putar di kepalaku, membayang dan terlihat di kepalaku seperti proyektor. Pikiranku hanya berpusat pada satu pertanyaan saja. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa yang akan terjadi pada kaum werewolf jika masalah ini tetap berlanjut?
Bangkit dari atas kasur, aku menatap ke arah buku bersampul tebal yang berada di atas meja. Pohon Akacia, apa sebenarnya yang terjadi?
Menghela nafas, rasanya seperti tumpukan batu menghimpit paru-paruku dan menyulitkanku untuk bernafas. Apa yang harus ku lakukan? Menjalankan rencana awalku untuk bertemu dengan vampire itu akan semakin menyulitkan anggota Pack jika sesuatu benar-benar terjadi padaku. Aku bahkan belum bisa mengendalikan emosi dengan baik, apa aku sanggup?
Merenung sejenak, pikiranku terpecah ketika seseorang mengetuk pintu kamarku dengan perlahan. Turun dari atas kasur, aku mengenyahkan seluruh pikiran burukku dan membukakan pintu hanya untuk menghirup aroma pai apel dan manisnya susu yang tersapu oleh hembusan angin.
Aku sebenarnya tidak begitu lapar, melihat pai apel dan segelas susu vanilla itu malah membuatku mual dan ingin sesegera mungkin menutup pintu agar aroma manis itu tidak lagi tercium. Namun yang terjadi adalah tanganku menerima loyang yang di sodorkan padaku itu dan tersenyum ke arah pelayan yang sama seperti kemarin. Kusadari bahwa aku menerima ini agar tidak menyakiti hatinya. Dia menundukkan kepala sebentar lalu undur diri untuk melakukan tugasnya yang lain.
Dengan enggan aku masuk kembali ke dalam kamar dan menaruh loyang tersebut di atas meja. Aromanya memenuhi ruangan, semakin membuatku mual. Akhirnya dengan berat hati aku mengangkat kembali loyang tersebut dan membuang seluruh isinya ke tong sampah. Aromanya masih tersisa namun tidak sepekat sebelumnya.
Terlalu banyak hal yang ku pikirkan, namun aku harus secepat mungkin memutuskan langkah apa yang harus ku ambil setelah ini. Salah mengambil langkah sedikit saja, aku akan kembali membawa kekacauan pada Pack. Lalu apa yang harus ku lakukan? Mengapa semua menjadi serumit ini?
Pikiranku melayang pada Darren. Aku sangat merindukannya, aku membutuhkannya sekarang juga untuk menenangkan pikiran, namun kejadian kemarin tidak bisa ku lupakan begitu saja.
Kepalaku terasa berat dengan memikirkan ini semua. Dengan langkah sempoyongan aku kembali berjalan menuju pintu. Keheningan ini membunuhku secara perlahan, aroma apak dari buku-buku lama sama sekali tidak membantu ketika aku berhasil keluar dari kamar.
Semakin berat, dan semakin lama semakin berat. Pandanganku mengabur diikuti dengan kepalaku yang berdentum dengan keras.
Sejenak aku merasa melayang, namun aku bisa mempertahankan berat tubuhku hingga berhasil melewati deretan anak tangga menuju lantai bawah. Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Rasa pusing itu kembali mendera, Liz berseru khawatir.'Hey, Alice!'
'Kau baik-baik saja?'
Aku tidak bisa memikirkan kata-kata agar membuat Liz tenang sekarang. Rasanya seperti semua pikiran itu balik menyerangku seperti ribuan jarum.
Hal terakhir yang ku ingat adalah tubuhku limbung dan terjatuh di atas lantai dengan keras, lalu terdengar bunyi gebrakan pintu yang menjeblak terbuka.
Aku merindukan aroma manis ini.
****
Nafasku terasa sesak, rasa terbakar menjalari kerongkonganku bersamaan dengan sebuah jemari besar yang menekan erat saluran pernafasanku. Aku tidak bisa merasakan udara lagi. Ketika membuka mata dengan susah payah, sepasang iris merah terang menatapku dengan tajam, seperti kobaran api yang siap membakarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound By The Alpha
Werewolf(UNDER REVISION - Ditulis sebelum mengetahui banyak tentang tata bahasa dan cara menulis yang benar) **** "We can't fight the destiny." - Alicia Thompson **** Alice tidak suka di kekang, ia adalah gadis yang memiliki jiwa bebas. Sebab itulah ia ti...