(30) Fatalism

3.9K 318 45
                                    

Gelap. Sejauh mataku memandang, hanya ada kegelapan di sekitarku. Dengan kebingungan aku menoleh ke sekitar, berusaha mencerna situasi yang kini mengekangku. Ketika menunduk, aku mendapati sebuah bunga mawar muncul dari atas tanah yang ku pijak, mawar berwarna merah merekah yang begitu indah, kelopaknya mungkin akan terasa lembut jika aku bisa menyentuhnya.

Mawar merah tersebut memiliki aroma yang begitu memabukkan, terlalu manis jika di bandingkan dengan mawar sebenarnya. Aromanya yang terhirup bahkan bisa ku cecap di lidahku, begitu manis seperti madu dan menyegarkan.

Terdiam sebentar, aku merasa dejavu dengan aroma ini.

Mengerutkan kening, aku memutuskan untuk bertanya pada Liz.

'Liz?'

Keheningan menjawabku. Sekali lagi aku memanggil namanya dan tetap tidak mendapatkan jawaban.

"Apa yang terjadi? Dimana Liz?" gumamku bertanya-tanya.

Kembali menunduk untuk menatap mawar tersebut, aku tersentak ketika melihat ujung dari kelopaknya yang berwarna merah perlahan-lahan di georogoti oleh bayangan hitam. Warna gelap tersebut menutupi warna asli dari mawar tersebut hingga aromanya benar-benar tidak tercium.

Tak lama kemudian hembusan angin dingin menerpaku, membuatku menggigil. Rasa kosong tiba-tiba mendera. Mawar yang awalnya berwarna tersebut kini tak ubahnya tempat ini, tempat yang tidak ku ketahui. Disini terlalu hening, terasa kosong dan sepi.

Aku menyentuh tepat dimana jantungku berdetak duakali lebih cepat, rasanya menyakitkan, rasa kosong dan sepi ini menyakitiku. Kakiku terasa lemas, dan aku terjatuh berlutut, nafasku terengah-engah. Mengapa dengan hanya kekosongan ini aku merasa begitu tersiksa?
Pandanganku menggelap, dan sebelum jatuh terlelap, sebuah kilasan wajah berjalan di pikiranku.

Darren?

***

Aku menarik nafas tajam, merasakan jantungku yang berdetak dengan cepat hingga membuatku kesulitan bernafas. Rasanya begitu menyakitkan, ada kekosongan yang melanda jiwaku, dan setiap tarikan nafasku membawa penderitaan yang tidak ku mengerti.

Membuka mata, aku berusaha untuk mengenali keadaan yang ada di sekitarku, dan baru menyadari jika aku telah berada di kamarku sendiri. Apa yang terjadi sebelumnya? Sebuah kilasan ingatan mengenai diriku yang berada di Hutan Sanctum sebelumnya masih teringat dengan jelas, apakah semuanya hanya mimpi?

Kepalaku terasa berputar ketika aku mencoba bangkit dari kasur, dan rasa sakit yang tidak ku mengerti masih memukul-mukul jantungku. Aku menangkup tempat dimana jantungku berada dan berusaha mengatur nafasku. Setiap tarikan nafasku seperti selalu menyakitiku.

"A-apa yang terjadi?" lirihku, kemudian meringis pelan.

"Harusnya itu adalah pertanyaanku"
Suara yang tiba-tiba muncul itu membuatku menoleh. Wajah dingin Kinan yang pertamakali menyapaku.
Aku bahkan tidak menyadari keberadaannya sama sekali.

Dia bangkit dari posisi duduknya kemudian mengambilkanku segelas air dari atas nakas. Dengan perlahan dia mengulurkan gelasnya di dekatku kemudian membantuku meneguk isinya. Tenggorokanku terasa panas, dan terdapat rasa panas lain yang terasa di batas antara bahu dan leherku.

Tanganku terulur menyentuh tempat dimana rasa panas itu berasal, kemudian menyadari bahwa disitulah Darren pernah menancapkan taringnya. Namun sesuatu pun menyadarkanku jika sedari tadi aku tidak melihatnya. Tidak mungkin dia tidak mengunjungiku hanya karena kejadian itu, bukan? Seharusnya akulah yang melakukannya.

Mengetahui wajah bertanya-tanyaku, Kinan menggeleng dengan pelan.
"Kau masih tidak mengerti ya"

Aku mengerutkan kening heran, "apa maksudmu?"

Bound By The Alpha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang