(29) Heartache

4.4K 342 39
                                    

Mengerjabkan mata, aku berusaha menyingkirkan titik-titik hitam yang memenuhi pandanganku dengan susah payah. Seluruh tubuhku terasa nyeri, dan ada sesuatu yang berdenyut-denyut di leherku, terasa panas, hingga sanggup membangunkanku.

Dengan lunglai aku bangkit, menyingkirkan selimut yang mengganggu dan langsung meringis merasakan pusing yang mendera. Kepalaku terasa berat, dan titik-titik hitam itu kembali ingin memenuhi pandanganku. Aku menundukkan kepala sambil menggeleng pelan, berusaha menyadarkan diri agar tidak kembali terlelap.

Ketika merasa telah sedikit membaik, aku bangkit dari atas kasur, memijakkan kakiku dengan sedikit berjengit ketika merasakan dinginnya lantai marmer yang menyentuh kulitku dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi.

Harusnya aku sadar akan apa yang telah terjadi sebelumnya, namun aku tetap saja tersentak ketika melihat bekas gigitan tersebut di leherku, tepat ketika aku melihat pantulan diriku sendiri di depan kaca. Bekas gigitan tersebut memerah, dan denyutannya terasa begitu mengganggu. Terlebih lagi rasanya begitu panas, aku bahkan bisa merasakannya ketika jemariku menyentuh dua titik yang berdampingan tersebut.

Menghela nafas, aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat ketika kilasan kejadian sebelumnya berjalan di pikiranku. Bagaimana ketika Darren melakukan hal tersebut tanpa memikirkan perasaanku, bagaimana ketika ia menanamkan taringnya di kulitku dengan paksa tanpa persetujuanku, rasanya begitu menyakitkan. Memikirkan hal tersebut membuatku kesulitan untuk bernafas, seakan-akan sebuah batu besar menghimpit dadaku dan menyumbat saluran pernapasanku. Aku tidak bisa menerima ini, aku belum siap. Harusnya Darren mengerti, aku belum siap mengemban semua tugas berat itu.
Kenapa semua ini harus terjadi? Mengapa harus aku?

Memikirkan hal tersebut membuatku berpikir bahwa semua ini memang benar-benar tidak adil. Rasanya semesta terlalu kejam membiarkan takdir melakukan hal ini terhadapku. Atau mungkin bukan aku saja. Entah bagaimana keadaan Alfred, aku bahkan tidak bisa membantunya. Apa yang harus ku lakukan? Apa aku bisa mendapatkan jalan keluar dari ini semua? Kenapa takdir memilihku?

Aku menggigit bibir bimbang, pikiranku di penuhi oleh keputusasaan. Aku mengerti mengapa Darren menyembunyikannya dariku, dan aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atas semua ini. Aku benci kenyataan bahwa mereka menyembunyikan hal sebesar ini dariku, dan aku lebih membenci lagi ketika aku tidak bisa melakukan apa-apa bahkan saat aku telah mengetahui sebagian dari apa yang di sembunyikan tersebut.

Aku tidak yakin dapat mendampingi Darren, aku belum siap untuk semuanya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya, aku benar-benar tidak mengerti. Menundukkan kepala, aku sedikit mendongak untuk melihat pantulan diriku di depan kaca yang telihat begitu menyedihkan, tatapanku terarah pada jejak yang kini tertinggal di antara bahu dan leherku. Semuanya semakin berat.

Menghela nafas pelan, aku mengerjabkan mata ketika air mata telah menggenangi pandanganku. Sekali lagi menatap tanda tersebut, aku berbalik kemudian berjalan lunglai keluar dari kamar mandi. Semuanya terasa begitu kacau, aku tidak bisa bertahan sebentar saja di dalam kamar karena kilasan kejadian tersebut selalu membayangi pandanganku. Akhirnya aku memutuskan untuk beranjak menuju balkon, berusaha melupakan apapun mengenai kejadian itu. Aku bahkan tidak ingin memikirkan dimana keberadaannya sekarang, yang ku inginkan hanya ketenangan, sebuah ketenangan yang begitu sulit ku dapatkan saat rasa berdenyut di antara bahu dan leherku semakin menjadi.

Mendongakkan kepala, aku menatap bulan yang bersinar terang, kemudian tidak bisa menahan tangisku.

Rasanya begitu berat, aku merasa ini semua terjadi karena diriku. Tapi, yang jadi pertanyaan adalah mengapa harus aku? Aku tidak ingin menyalahkan siapapun atas ini, aku tidak bisa, karena aku tidak memiliki kuasa akan itu.

Bound By The Alpha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang