Chapter 8

2.8K 401 5
                                    

Baekhyun tidak pernah melihat begitu banyak warna putih dalam hidupnya.

Seprai-seprai putih, tembok-tembok putih, seragam putih pucat para staf medis yang memaksa Chanyeol naik ke tandu, ambulans putih...

Dia tidak bisa mengukur seberapa mengerikannya semua itu bagi Chanyeol yang menyaksikan semuanya terungkap dari sudut pandang anak kecil.


"Aku harus ada bersamanya,"

ia memberitahu para staf saat mereka mendorong Chanyeol masuk ke bagian belakang ambulans.

"Dia ketakutan."

Dan begitupun dengan dirinya.

Cepat-cepat ia memanjat masuk ke dalam kendaraan yang sesak dan menggenggam tangan Chanyeol yang pucat di antarakedua tangannya.

Para tetangga telah keluar menonton, beberapa berbisik-bahwa bahwa mungkin Chanyeol akhirnya menemui Sang Pencipta, atau mungkin sudah jadi gila.


Baekhyun menatap para staf berusaha melakukan apapun yang mereka bisa untuk menjaga Chanyeol tetap nyaman, pertama memasangkan masker oksigen di atas mulutnya untuk membuka paru-parunya.

Dia merasa lebih tak berdaya daripada seseorang yang ada di usungan, tidak ada kekuatan untuk berbuat apa-apa selain menyaksikan saudara tirinya melemah, semua karena dirinya.



"Hanya flu."

Baekhyun mendongak menatap dokter yang menyiratkannya senyuman hangat, nyaris seperti seorang ayah (dia tidak menyangka seorang dokter mampu menampakkan mimik seperti itu), dan melepas nafas yang telah ia tahan tanpa sadar.

Ia melepas tangannya yang tergenggam, terlambat menyadari bahwa selama ini ia mengelupasi kulit mati tangannya karena gelisah.

"Jadi, apa dia baik-baik saja?"

tanyanya, tidak begitu bisa melepas beban yang ada di pundaknya.

"Dia akan baik-baik saja dalambeberapa hari. Kami akan merawatnya di sini untuk satu atau dua hari, baru dia boleh pulang ke rumah," jelas sang dokter.


"Rumah adalah tempat terbaik saat kau sakit, bukan rumah sakit."

Mereka berdua tertawa, walaupun Baekhyun masih nampak gelisah setelah berterimakasih pada pria tersebut.

"Maaf, Pak..." ia ragu-ragu bergumam.

"Apakah ada kemungkinan... bahwa... Chanyeol akan sembuh?"

"Sembuh?"

Sang dokter memasukkan ujung stetoskopnya ke dalam kantung di dadanya saat Baekhyun melihat sebuah plat nama hitam mengkilap yang terpatri


"Kim Joonmyeon".

Dokter itu berwajah ramah dansuaranya lebih ramah lagi yang meyakinkan ia bahwa Chanyeol berada di tangan yang tepat.

"Saudara tiriku agak... spesial," katanya.


"Dia kecelakaan beberapa tahun yang lalu dan tidak berpikir layaknya anak-anak normal. Aku ingin tahu... seandainya dia berusaha sangat keras... apakah ada kemungkinan dia bisa... normal kembali?"

Joonmyeon membawa Baekhyun ke barisan tempat duduk di salah satu sisi ruang tunggu, lalu duduk dengan sebuah desah.

"Penyakit mental dan keterbelakangan mental adalah ssuatu yang sama sekali berbeda. Keterbelakangan mental biasanya bersifat keturunan, 90% kasus-kasus ini... merupakan kondisi seumur hidup."

Dia memberi jeda dan melirik Baekhyun yang menatap pangkuannya sepertibaru saja melakukan sebuah kejahatan.

"Sedangkan pasien dengan penyakit mental dapat disembuhkan dengan konseling dan terapi."

"Kami tidak mampu menjangkaunya, seorang psikolog maksudku..."

"Siapa bilang kau butuh seorang psikolog?"

Joonmyeon tertawa kecil, dengan lembut menyentuh bagian tengah dada Baekhyundengan dua jari.

"Jenis terapi yang paling baik adalah yang menyembuhkan hati."

Dia menaikkan alis sedikit ketika pemuda itu menatapnya kosong.

"Kasih sayang," dia menekankan,

"aku berikan resep obat, kasih sayang; overdosis pun tidak masalah."


Dengan itu, Joonmyeon minta diri dari ruang tunggu dan meninggalkan Baekhyun bertanya-tanya apakah sang dokter telah menjawab pertanyaannyaatau memberinya sebuah pertanyaan lain yang harus ia pecahkan.

Baby's BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang