Triztan Famousz
Solo, 12 November 2017 Hari ini aku bermimpi Kuputuskan tuk berikan seluruh hidupku untukmu Akan kuserahkan segala harap dan angan dijiwaku tuk ditukarkan dengan beberapa koin cintamu.
Fantasiku telah mencapai batas diatas normal hanya untuk menggapai ilusimu, berharap jika kau benar-benar ada hanya untukku...Hadirmu, adalah penghapus segala batas dan alasan Keberadaanmu, adalah titik embun pertama penghapus dahaga dalam kisah tak bernama tetapi selalu ada Ajarkan aku, Memupuskan gulita yang datang menghadang, memberangus kelam yang datang, dan menyapulenyapkan segala jejak dan bayang .Engkaulah alasan untukku ada dan terusberjuang
Tahukah jika kau seperti drug yang tak pernah bisa kulepas sekalipun puluhan kaliaku membuang diri kepusat rehabilitasi?Beberapa hayalan tentang realitas bahkan tak bisa mengalihkan pandanganku yang berpusat padamu.Matamu sumber keteduhan hatikuWajahmu sumber kedamaian jiwaku Gemingmu, bisumu, amarahmu, lukamu, tawamu, senyapmu,Dan akumulasi setiap partikel dalam tubuhmu adalah pelengkap kesatuan tubuhku,Jika memang bisa disatukan....
. . . # # # . . .
...Air mataku meluncur bebas dari kelopak tempatnya bersemayam, butiran-butiran air jatuh memecah tinta bolfoin, memberikan noda lumer berbentuk pola-pola bundar bergelombang di buku harianku.
Tak kuat lagi ku tahan kumparan rasa sakit dan kecewa yang bercokol hebat di rongga dada. Rasasakit dan kecewa yang seakan-akan sengaja ditekan kuat-kuat di dadakuhingga mengharuskanku mengais gumpalan oksigenhanya untuk menjejalkan nafas di rongga hidungku.Kututup buku harian tempat seluruh episode hidupku berpadu. Kembali rutin aku menulis di buku harian itu sejak aku tak lagi bisa merasakan atmosfir kebahagiaan lagi di kehidupan tabuku. Bahkan, untuk mengecup kebahagiaanpun, aku tak lagi merasa mampu.
Hidupku suram dan terlampau kelam hanya karena satu manusia yang dahulu kupuja dan sampai sekarang masih aku agung-agungkan tanpa alasan rasional, cinta.Aku adalah seorang penjudi yang buruk, pengobral kepingan rasa percaya dan kesetiaan di dunia yang tak diciptakan untuk itu. Detik pertama diadatang dan meresap telak dalam pori-pori hidupku, langsung membuatku kelabakan.
Kocar-kacir aku berusaha mempertahankanjati diriku. Aku yang mempunyai masalah untuk mengendalikan sudut kelam di dalam diriku, tak pernah tahu kapan harus mulai dan berhenti.
Ketika dia datang berpadu dengansinar gemilang, kalang kabut kuserahkan segala yang kupunya.
Kepingan rasa percaya dan kesetiaan bertaburan di meja judiku dan aku selalu tak membawa pulang apa-apa. Rasa percaya itu menghilang dan amblas di tangan manusia bernama Willy Putranda.. . . .
# # # . . . ...Kurenggut kepala botolWhishkysisa acara mabuk bersama beberapa minggu yang lalu, kugenggam erat leher botol itu dan ku benturkan dengan ujung lancip meja kamarku.
Botol itu pecah. Membentuk pola zig-zag tak beraturan, berhamburandiatas karpet kamarku. Naluriah, sudut bibirku tertarik hingga menyentuh telingaku.
Entah apa yang begitu membahagiaakan selain nadi yang tak lagi berjarak dengan kepingan kaca paling besar yang kini mantap berada di genggaman.Kutatap pecahan kaca itu saat menggores denyut di lenganku. Nafasku memburu saat telapak tanganku teriris nyeri. Darah segar menetes pelanmenelusuri lengan, menderas dan mendarat tepat di atas karpet putih yang menopang sebagian besar lantai kamarku.
Kesadaranku goyah, kewarasanku tak lagi bertahta. Kujejalkan belasan obat penenang ke dalam mulutku dan kutelan sekuat tenaga, seperempat botol lebih obat itu aku tenggak dan lenyap dalam kerongkongan. Tubuhku bergetar, aku tersendat tawa, entah apa yang membuatku begitu gembira.
Mungkin karena ini adalah saat terakirku menangung derita.Pandanganku mulai tak karuan, bergoyang-goyang hingga akhirnya seperti televisi rusak. Kutatap pelan aliran darah yang melingkari lenganku mulai tersendat, kutambahlah dua sayatan besar hingga alirannya kembali deras.
Dan aku mulai terbahak. Kukecup lengaku tempat darah bermunculan di balik sobekan kulitku, lalu kujilatidan kuhisap aliran darah itu.
Ada sensasi menakjubkan saat gesekan kaca menyayat kulitku, ada rasa sakit yang begitu membuatku ketagihan saat sumber sayatan itu kuhisaptak karuan. Benar-benar kunikmati sensasi itu. Senyumku terus mengembang, pangkal lidahku kembali mengecap-ngecap pelan daging segar yang baru saja terkuak. Aku terhempas dalam kenikmatan palsu.
Tubuhku menggelinjang.
Bulu kudukku berdiri berseragam. Memperjelas lubang pori-pori dikulitku. Belum pernah kunikmati sensasi kenikmatan sepertiini. Ada letupan kedamaian yang meningkat seiring berjalannya waktu.Semakin kuhisap aliran darahku, aliran kenikmatan itu semakin meletup hebat. Kugores kembali lenganku, tak ada rasa akit ataupun nyeri. Hanya ada kebahagiaan saat pecahan kaca itu menggesek lembut lengan ku.Aku tersedak hebat, hingga memuncratkan darah dari mulutku saat gelombang tawa tiba-tiba muncul dari dalam dadaku. Foto itu. Gambar dibawah salip berwarna kelabu itu. Kupandang sekeliling, satu persatu kenangan mulai berputar diteater pikiranku. Drama dan opera masalalu menuntut perhatianku. Luka yang belum mendapatpenawar kembali terkoyak, kepedihan dan rasa sakit yang belum tuntas kembali mendidih. Aku menangis. Tersungkur dilantai.Dadaku remuk redam. Seolah-olah berulang dihantam. Kurasakan nyeri yang teramat sangat.
Willy,Willy... rintihku.Aku jatuh cinta habis-habisan. Cintanya yang begitu benderang membuatku melayang hingga akhirnya aku terpuruk di dasar jurang, setelah mengambang di awang-awang.Kuhikmati benar kenangan-kenangan yang kembali terngiang, karena mungkin setelah ini tak bisa kembali kuputar ulang.
Bersambung...