50|| Demi kebaikan ☀

3.1K 301 36
                                    

Kenali dan pahami dulu permasalahannya, barulah membuat keputusan untuk memecahkannya.

☀☀☀

"Mari kita lupakan semua masalah yang ada di antara keluarga kita, Lintang."

"Lo masih temen gue, Martin. Gue dan istri gak akan pernah menuntut lo atas semua perlakukan lo ke anak gue. Usia pertemanan kita sudah sangat lama, bukan? Maka sudahilah semuanya secara kekeluargaan," jawab Lintang melalui sambungan telepon.

Martin mengulas senyum tipis. "Gue turut berduka dengan apa yang menimpa, Fira. Jelas lo tahu gue tipe orang seperti apa, bukan? Gue hanya mengikuti semua keinginan orang yang gue cintai," ucapnya santai.

Lintang terkekeh di seberang sana. "Istri yang keras kepala, tukang dendam, dan tentunya egois. Endang mengerti semua penjelasan gue, lo tenang aja, nama lo aman dari catatan kepolisian! Tapi setelah ini, gue mohon urus istri lo itu supaya berhenti mengganggu Fira, atau gue akan memasukkan dia kembali ke rumah sakit jiwa!" ucap Lintang sedikit mengancam.

"Lo memang sahabat terbaik gue, Lin! Gue akan mengawasi semua apa yang dilakukan istri gue, dan biarkan kali ini gue menentang apa yang dia ingin lakukan. Thank you karena dulu lo mau mempercayai gue, dan maaf karena pernah membuat Fira menderita,"

"Sama-sama ....," Lintang menjeda sebentar ucapannya, sebelum akhirnya terdengar suara napas yang begitu berat. ".... lo beneran pindah?" tanyanya dengan suara berat.

Martin mengangguk, dan ia langsung tersadar jika jawaban yang dibutuhkan oleh Lintang bukanlah anggukan kepala, melainkan jawaban melalui bibir. "Iya, untuk keselamatan Fira, dan yang lainnya. Gue gak mau ada anak yang tidak tahu apa-apa harus kehilangan nyawanya hanya karena kelakuan istri gue, dan gue sudah memutuskan untuk membawa istri gue ke dokter spesialis di sana, doain supaya Olin segera sembuh, ya,"

"Jadi, alasan lo pindah karena istri lo? Bukan untuk menjauhkan Fira dan Mario?"

"Bukan, ini semua demi kesehatan Olin, lu tahu 'kan? Gue selalu berharap dia kembali berpikir normal, dan berhenti untuk terobsesi sama lo?" tanya Martin.

Martin tidak lagi mendapatkan jawaban dari Lintang, yang ia dengar hanyalah suara langkah kaki yang terlalu cepat dan bergema. Martin menempelkan ponselnya terus di telinga tanpa berniat untuk memutuskan sambungannya.

"Yah, Fira, yah," yang Martin dengar hanyalah suara Endang yang begitu parah dan bergetar.

"Bro! Matiin dulu, Bro! Fira gak sadarkan diri lagi!" ucap Lintang cepat lalu langsung mematikan sambungan teleponnya.

Setelah sambungan teleponnya terputus, Martin langsung memakai mantelnya dan bersiap untuk pergi. Martin mengulas senyum begitu melihat Mario yang duduk termenung di depan TV yang menyala. Kepala Mario tidak mengarah ke layar TV melainkan mengarah ke sebuah bingkai foto yang berada di kedua tangannya.

Foto kecil Mario, Andre, dan Dika.

Martin mengambil langkah lebar untuk mendekati Mario. Martin tidak akan membuat usahanya untuk menutupi semuanya harus terungkap hari ini. Ia berusaha untuk terlihat tegar dan siap menentang keinginan Mario.

"Besok kita akan berangkat pagi menuju bandara. Papa ingin kamu istirahat malam ini! Bukan hanya duduk santai memandangi foto usang seperti sekarang!" ucapnya tegas kepada Mario.

Mario terkekeh. "Gampang banget, ya, Pa, berbicara seperti itu?" lirih Mario.

"Untuk apa mengenang sesuatu yang tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya?" sinis Martin sepenuhnya benar.

Speranza [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang