Bersekolah di SMA Bunga Bangsa bukanlah pilihan yang salah sepenuhnya. Bukan juga pilihan yang baik sepenuhnya. Aku meletakkan pena kesukaanku yang berwarna biru di atas meja. Aku menutup kedua wajahku dengan kedua tanganku. Menghembus nafas yang telah aku hirup tadi.
Baru beberapa bulan aku bersekolah, tugas-tugas sudah menumpuk. Tidak seperti waktu aku homeschooling, yang tugasnya sedikit sekali bahkan hampir tidak pernah ada tugas, ternyata bersekolah biasa benar-benar tidak kenal ampun memberi tugas.
Tetapi, yang perlu aku garis bawahi disini adalah aku menikmati apapun yang aku alami saat ini. Meski cacian terus datang dari teman-temanku, aku tidak peduli. Fokusku saat ini adalah aku ingin menjadi gadis pada umumnya. Gadis yang bisa melakukan banyak hal, tanpa terkecuali. Bisa mengeksplor dirinya tanpa harus harap-harap cemas.
Aku menengok ke arah pintu kamar yang terketuk. Belum sempat aku membukakan pintu, Papa sudah terlebih dahulu membukanya.
"Karina?" Papa keheranan menatapku dengan beberapa buku yang tersebar di atas meja. "Kamu lagi apa?"
"Lagi ngerjain tugas sekolah, Pa." jawabku.
"Sampai butuh buku segitu banyaknya?" Papa berjalan ke arahku.
Aku mengangguk semangat, "Bukunya Karina pinjam di perpustakaan sekolah. Ternyata perpustakaan itu komplit banget, ya, Pa. Hampir mirip sama toko buku langganan Karina kalau beli novel." ucapku memberi tahu.
"Oh, ya? Berarti mulai sekarang Papa nggak usah antar kamu ke toko buku lagi, dong? Kan katanya di sekolah sudah komplit banget." ledek Papa.
Aku tersenyum menanggapi ucapan Papa. Entah kenapa, aku merasa Papa hanya bergurau saja. Aku yakin, Papa akan tetap mengantarkanku kemana-mana jika aku ingin membeli atau membutuhkan sesuatu.
"Papa sudah makan?" tanyaku mencari topik lain. Hitung-hitung, aku memperhatikan Papa yang sudah lebih dulu perhatian kepadaku. Bagiku, Papa itu, ya, Papa yang juga merangkap segala tugas seorang Ibu. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Papa di hatiku.
"Sudah, sayang. Tadi langsung makan habis pulang kerja." jawabnya sembari mengelus lembut rambutku yang tergerai.
"Pa, makasih ya udah mau perhatiin Karina setiap saat. Papa selalu berhasil bikin Karina nyaman dalam keadaan apapun. Papa juga Mama dalam hidup Karina. Tanpa Papa, mungkin Karina nggak bisa sekuat sekarang." Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutku. Aku menatap Papa dengan tatapan penuh syukur.
Papa hanya tersenyum. Ia membelai rambutku untuk yang kesekian kalinya. "Sudah Papa bilang. Ada-nya Papa disini, hanya untuk membahagiakan kamu. Anak Papa satu-satunya."
"Karena itu Karina bilang terimakasih, Pa," ucapku sambil mesam-mesem layaknya seorang anak kecil yang digoda oleh ibunya.
"Iya, sama-sama." sahut Papa, "Kalau gitu Papa tinggal dulu, ya? Papa harus menandatangani beberapa proposal dan dokumen dari kantor. Kamu belajar lagi dan selesaikan tugasmu." kata Papa berpesan kepadaku.
Aku pun mengangguk riang. Papa meninggalkan kamarku. Sementara aku? Aku ingin rehat sejenak dari tugas-tugasku. Aku ingin berdiam diri, berteduh, mengucap syukur kepada Tuhan karena telah menghadirkan seorang pahlawan di dalam hidupku. Yang jasanya tak akan pernah lekang oleh waktu. Yang cintanya tak akan pernah hilang dari hati.
Papa.
✨✨✨
Keesokan harinya, aku sudah tiba di sekolah tepat waktu. Aku diantar Papa sampai di depan kelas. Masuk ke dalam kelas dihadiahi tatapan sirik dan hujatan aneh sudah biasa bagiku. Aku tahu, sejak awal keputusanku memanglah bukan good option. Aku hanya ingin bebas, seperti anak burung yang kemudian bisa terbang sendiri tanpa takut jatuh.
"Eh, si paket lengkap udah datang, nih!" Aku tiba-tiba saja kaget ketika Bella dan kedua temannya menggebrak mejaku dengan kasar. Aku lantas mendongak, menatap Bella yang berdiri di samping kursi rodaku sambil menyeringai nakal.
"Bandana baru, ya?" Bella dengan isengnya menarik bandana biru yang terpasang di kepalaku. Aku jadi kewalahan dan hampir saja ingin berdiri. Tapi, begitu menyadari bahwa kakiku tak cukup kuat untuk menyangga badanku sendiri, aku tidak jadi melakukannya.
"Kenapa? Mau ambil bandana lo? Sini, dong. Berdiri." ejek Bella lagi sambil melirik kedua teman perempuannya yang kuyakini dari kelas lain.
"Bella, kembaliin bandanaku." ucapku lembut, berusaha tidak menaruh nada kebencian di dalamnya.
"Kalau mau bandana ini balik ke lo, lo yang harus berdiri." sahut Bella.
Aku menarik nafas tidak kentara, kemudian juga menghembuskannya tak kentara. Aku berusaha meraih bandana biruku yang sekarang sudah diangkat tinggi-tinggi oleh Bella. Aku sampai capek sendiri jadinya. "Bella, tolong kembaliin bandana aku." kataku padanya.
"Ya lo ambil sendiri lah!" Dia malah semakin mengangkat bandana ku tinggi-tinggi.
"Kembaliin Bella. Itu peninggalan terakhir dari Mama satu-satunya." ucapku parau mengingat itu adalah hadiah terakhir yang telah Mama persiapkan untuk hari ulangtahunku.
"Bodo amat! Emang gue pikirin?" ledek Bella lagi.
"Bella, kembaliin bandanaku!" Aku agak mengeraskan suaraku bermaksud untuk membuatnya jadi merasa sedikit takut. Tapi, yang terjadi dia dan kedua temannya malah tertawa geli menatap diriku.
"Emang dasar, ya, si paket lengkap! Udah nggak bisa jalan, sok kecantikan masih juga suka marah-marah. Parah-parah."
Aku diam. Mau menangis tidak bisa. Mau membalasnya pun juga tidak bisa. Aku hanya diam menatapnya yang sedang mengerling jahil kepadaku.
"Nih, gue kembaliin! Biar lo balik jadi princess lumpuh lagi!" Bella melemparkan bandanaku ke lantai. Barang pemberian Mama untuk yang terakhir kalinya. Mataku memanas, tetapi berusaha aku tahan agar aku tidak menangis.
Lagipula, teman-teman semua juga menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Mereka tahu Bella yang usil, tetapi mereka tidak memberi respon apa-apa. Mereka tidak menolongku sama sekali. Tapi, tak apa. Ini semua sudah menjadi bagian dari risiko yang harus aku jalani. Aku harus sabar.
Terimakasih buat teman² yang sudah mau menyempatkan waktunya untuk membaca ceritaku, ya.
Jangan lupa untuk vote and comment karena satu vote dan comment dari kalian sangat berarti buatku. Thank's!
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEVAR
Fiksi RemajaKarina Latisha adalah seorang gadis tuna daksa yang ingin merasakan indahnya dunia remaja. Memberanikan diri untuk bersekolah di sebuah sekolah swasta, ia bertemu dengan sosok Gazlan Samudera yang memiliki pesona bak Dewa Yunani. Keduanya punya rasa...