Karina Latisha adalah seorang gadis tuna daksa yang ingin merasakan indahnya dunia remaja. Memberanikan diri untuk bersekolah di sebuah sekolah swasta, ia bertemu dengan sosok Gazlan Samudera yang memiliki pesona bak Dewa Yunani. Keduanya punya rasa...
Hari ini, seperti biasanya aku berangkat ke sekolah bersama Gazlan. Tak tahu kenapa, saat pertama kali aku melihat wajahnya, aku jadi teringat Milka. Mungkin karena semalam aku masih memikirkan dirinya dan Milka yang sempat dekat.
Oh ya. Sudah lama sekali aku tidak bermain bersama Milka. Semenjak kejadian itu, dimana ia pergi begitu saja yang otomatis menyatakan bahwa antara aku dan dirinya ada perang dingin, aku jadi malas berbicara dengannya.
Ada sesuatu—yang aku sendiri tidak tahu itu apa. Entah karena memang hal itu tersembunyi, atau mungkin karena aku yang malas mencari tahu. Tapi kurasa untuk apa aku meneliti hal-hal yang tidak bisa kuteliti? Mirip seorang ilmuwan yang kurang kerjaan.
"Kenapa?" tanya Gazlan yang menyadari lamunanku.
"Hah? Apa?" Aku lantas menoleh ke arahnya dan menatap mata hijaunya dengan ekspresi bingung.
"Kamu itu lho. Kamu kenapa bengong kayak gitu? Mikirin apa?"
Milka dan kamu, kata batinku. Tapi... tidak mungkin rasanya bibirku mengucapkan itu. Lagian, mana mungkin Gazlan berpikir bahwa itu adalah suatu masalah? Aku mengerti bahwa cowok selalu bersikap easy-going dan masa bodoh. Tidak serumit perempuan.
"Aku lagi mikir gimana kalau nanti malam kita jalan-jalan." ucapku.
"Jalan-jalan?"
Aku mengangguk cepat, "Ke Bukit Harapan. Bukit yang sedang booming di berita itu, yang katanya kita bisa nikmatin udara sejuk sambil mandang bintang-bintang di langit malam. Seru pasti."
"Oh, ya? Kok aku nggak pernah tahu tempat itu, ya? Atau karena aku lebih sering on-time di hape daripada lihat berita?"
"Ya iyalah." sahutku, "Lagipula, apa sih serunya mainin hape sampai berjam-jam? Bosen, tau."
"Dulu iya. Tapi sekarang enggak."
"Maksud kamu?" Aku mengernyit.
"Karena aku selalu nunggu notifikasi dari kamu. Selain itu cuma hape yang buat kita dekat selama kita nggak ketemuan."
"Ih, gombal!" kesalku.
"Bukan gombal. Ini memang kenyataannya. Buktinya, memang hape kan yang buat kita dekat selagi kita nggak ketemu?" Gazlan menengok ke arahku dan menatapku dengan intens.
"Mm... iya sih. Tapi kan hape kalau dipantengin terus bikin bosen."
"Cuma masalahnya karena ada notif dari kamu, aku jadi nggak bosen. Ya udahlah. Udah jangan dibahas lagi. Sekarang kita bahas aja tentang Bukit Harapan. Kamu mau banget, ya, kesana?" Gazlan kembali menengok dan menatap mataku.
Uh, sudah berapa banyak aku melakukan kontak mata dengannya?
"Mau?" tanya Gazlan lagi, "kalau kamu mau, nanti malam kita kesana."
"Kalau enggak?"
"Ya aku di rumahlah."
"Kenapa? Nggak mau sendirian kesana?"
"Enggaklah. Buat apa? Satu, aku nggak tahu tempatnya. Dua, entar dikira aku jomblo ngenes lagi. Mandangin bintang-bintang sendirian kayak butuh jodoh banget padahal aku udah punya cewek cantik di sebelahku."
Pipiku memerah ketika ia mengatakan kalimat terakhirnya. Untuk sesaat aku merasa sangat tersanjung akan apa yang telah dia katakan. Gazlan, Gazlan, apakah otakmu hanya berisi kata-kata manis untukku? Jikalau iya, biarlah aku menetap saja disana.
"Gimana? Mau apa nggak?"
"Mm...ya. Boleh."
Kemudian, kulihat Gazlan tersenyum lalu kembali memperhatikan jalanan. Beberapa menit setelahnya, mobil yang kami berdua tumpangi telah berada di halaman parkir sekolah. Sejenak aku menarik nafas panjang. Menyiapkan diri untuk menerima ilmu berharga dari sekolah.
✨✨✨
"Udah sampe sini aja." kataku padanya. Gazlan kemudian berhenti mendorong kursi rodaku. Ia berpindah ke hadapanku dan menatap kedua manik mataku dengan intens. Tentu saja aku membuang muka. Aku mana bisa tahan dengan tatapannya?
"Eh, udah kali. Aku malu diliatin anak-anak lain." ucapku pada akhirnya.
"Makanya jadi perempuan jangan cantik-cantik. Sekarang, siapa yang rugi? Wajar dong laki-laki normal kayak aku jatuh hati sama perempuan secantik kamu."
"Gombal terus, deh." kesalku, "Aku malu, Gazlan."
"Tapi aku nggak." katanya menjawab.
"Gazlan, serius deh. Aku ke sekolah mau belajar. Jadi silahkan minggir dari hadapanku sekarang." ucapku dengan nada yang sedikit tegas. Sedikit. Ya, sedikit. Aku mana bisa marah dengannya?
Gazlan kemudian tertawa melihat ekspresiku. Dia lalu bangkit dari posisi jongkoknya. "Ya udah aku minggir. Kamu boleh masuk. Tapi nanti pas istirahat kamu tunggu aku di kelas, ya? Jangan kemana-mana. Soalnya aku mau ajak kamu ke kantin bareng, oke?" katanya kepadaku.
Aku hanya bisa mengangguk. Daripada dia ngomel dan malah menghalangi diriku lagi, mending kali ini aku mengalah. Lagipula, hanya makan di kantin. Apa susahnya aku menerima tawaran itu? Gazlan sudah terlalu baik untukku. Sebagai pria tampan dan memiliki banyak penggemar, Gazlan yang mau denganku saja sudah kuanggap bahwa seharusnya aku sebagai pacar perlu menjaga perasaannya.
"Ya udah, aku tinggal dulu, ya. Kamu beneran cuma mau sampe sini? Nggak mau sampe dalem?" tanya Gazlan lagi.
Aku menggeleng, "Perlukah aku bilang sampe seribu kali supaya kamu ngerti? Enggak, Gazlan. Sampe sini aja aku udah makasih banget kok. Aku bisa masuk ke dalem sendiri." ucapku sembari tersenyum ala-ala artis korea.
Gazlan menghela nafas sekali. Dia seperti menyerah saat aku memberi balasan. Namun tidak saat aku tahu matanya mengarah ke bibirku. Secepat kilat aku langsung menabok pinggangnya—karena hanya itu yang bisa aku jangkau. "Aw!" Dia meringis.
"Balik ke kelas, gak?!" ancamku.
"Ya tapi gak usah ditabok juga kali, Yang."
"Gazlan!"
"Iya, iya."
"Dasar mesum!" ucapku frontal saking emosi.
"Nggak apa, dong. Kan nanti kamu juga jadi milikku." katanya sambil cengengesan tanpa dosa. Ya Tuhan... mengapa aku bisa jatuh cinta dengan makhluk seperti Gazlan? Mungkin ini yang dinamakan bahwa cinta tak bersyarat.