[] EPILOG []

399 18 3
                                    

"Dimi mau makan apa?" tanyaku pada Dimi yang duduk di pangkuanku. Sesekali aku merapikan rambutnya yang sering berantakan akibat polahnya yang sungguh petakilan. "Mau makan apa, Sayang? Hm?" tanyaku ulang.

"Nggak mau. Dimi maunya ainan." ucapnya sambil memandangi lingkungan sekitar kami.

Kebetulan keluarga kecilku sedang menghabiskan weekend di mall besar Jakarta. Christo sedang berada di kamar mandi, dia izin kepadaku. Sedangkan aku dan Dimi terpaksa menunggu di depan sebuah toko mainan.

Sebenarnya aku sudah melarang Christo untuk buang air kecil di toilet lantai dua. Karena di sebelahnya adalah toko mainan. Dimi 'kan matanya langsung hijau tiap melihat mainan. Sama seperti aku saat masih kecil. Tapi berhubung Christo sudah tak bisa menahannya lagi, akhirnya mau tidak mau dia buang air kecil di toilet lantai dua.

"Dimi 'kan udah punya mainan banyak. Nggak boleh serakah gitu, dong." ucapku padanya.

"Tapi, Dimi mau, Mommy. Dimi mau lobot Ilon-Man."

"Nggak boleh. Dimi nggak boleh gitu, ah. Dimi 'kan sudah punya banyak sekali." kataku.

"Mommy ahat! Nggak kayak Daddy yang baik hati cama Dimi." Aku melihat wajah anakku yang cemberut. Sedikit terlintas rasa khawatir. Tapi untuk apa aku khawatir? Aku harus bisa mendidik Dimi agar menjadi anak yang baik dan tidak serakah. Aku harus mendidiknya agar menjadi pribadi yang bisa dengan semua keadaan.

"Cie, marah ya sama Mommy?"

"Nggak!"

"Iya.. marah tuh sama Mommy. Kalo nggak marah ya senyum dong, lihat Mommy dong."

"Nggak mau!" Dimi terus saja menghindari tatapannya denganku. Astaga, tingkah sungguh menggemaskan. Aku tanpa sadar mengukir senyum di bibirku. Setelah bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Christo, kami memutuskan untuk menikah. Dan tepat sebulan setelah kami bulan madu, aku dinyatakan mengandung.

Namun bayangan bahagia itu hilang ketika aku melihat sosok pria berada di dekatku. Aku hafal wajahnya, tidak mungkin lupa. Matanya. Aku selalu ingat warna mata itu. Hijau.

Mulutku menggumam. "Gazlan?"

"Hai." katanya menyapa diriku. Ini adalah pertama kalinya setelah bertahun-tahun kita tidak pernah bertemu. Dia yang menyapaku terlebih dahulu. Sementara aku? Saat pertama kali melihat wajahnya, aku jadi teringat saat dia datang ke Bunga Bangsa lalu memutuskanku. Wajahnya kusut, tidak ceria, senyum yang tersungging pun adalah senyum yang dipaksakan. Itu hal yang aneh menurutku. Terlebih lagi sosok Gazlan yang sendiri tanpa didampingi siapapun.

"Anak kamu?" tanyanya membuyarkan lamunanku. Tentu saja aku mengerjap dan menengok ke arah Dimi yang ternyata juga menghadap ke arah yang sama sepertiku.

"I-iya." jawabku terbata.

Mendengar jawabanku, Gazlan maju selangkah dan mengusap kepala Dimi. "Namanya siapa?" tanya Gazlan pada anakku.

"Dimi." jawab Dimi sambil tersenyum. Sepertinya dia menikmati usapan Gazlan pada kepalanya.

"Dimi?" Gazlan mengernyit. Ia nampak merasa aneh dengan nama anakku.

"Dimitri." kataku spontan.

"Oh... bagus." Gazlan kemudian mundur selangkah dan kembali membuat jarak di antara aku dan dirinya. Tapi matanya belum bisa lepas dari anakku. Aku tahu itu. Karena aku menatap mata hijaunya, mata yang dulu selalu aku sukai karena memberi kedamaian. Dan seolah tatapan ini memberi sinyal kepadanya, Gazlan beralih menatapku. Kontan saja aku terkaget dan segera memutuskan tatapan itu dengan cara menunduk.

Tak lama dari itu, aku mendengar Gazlan terkekeh. "Kamu keliatan beda, Rin."

"Beda?"

"Kamu lebih bahagia."

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang