[] 30 []

167 16 0
                                    

Meskipun Gazlan telah beberapa kali mengucapkan banyolan-banyolan lucu, itu sama sekali tak bisa mengobati rasa gelisah di hatiku.

Kelihatannya memang tak terjadi apa-apa denganku. Bangun tidur, sarapan, berangkat sekolah bersama Gazlan, bahkan sekarang, saat jam istirahat pun aku bersama dia. Tapi, rasanya aneh. Rasanya sepi dan kosong. Ada apa ini?

Semua itu dimulai sejak kemarin malam. Sejak hujan itu mengguyur Jakarta. Walaupun bukan itu definisi sesungguhnya. Ada sesuatu, aku yakin. Tapi aku tidak tahu sesuatu apa itu. Rasanya aneh, gelisah di hati. Firasat buruk itu terus terngiang di otakku.

"Na?" panggil Gazlan menyebut namaku.

Aku yang semula mengaduk-aduk jus jeruk pesananku itu lantas mendongak dan mengerjap karena kaget dipanggil olehnya. Tentu saja ekspresi bingungku membuat Gazlan mengerutkan dahi. Ia memasang tampang heran terhadap diriku.

"Kenapa, Na? Kenapa ngalamun aja dari tadi?" tanya Gazlan akhirnya.

"Oh, enggak kok. Enggak, Lan. Aku nggak apa-apa." kataku sambil menggeleng—membalas pertanyaan dengan kalimat yang menyatakan bahwa aku baik-baik saja. Padahal tidak. Ketahuilah bahwa hatiku sedang dilanda rasa cemas.

"Jangan bohong, Na. Kamu kayak lagi mikirin sesuatu. Mikirin apa?"

Memikirkan soal hubungan kita. Ingin rasanya aku menjawab seperti itu. Ingin sekali malah. Tapi aku tak bisa. Aku tidak mau melukai perasaan Gazlan. Jika aku mengungkapkannya, sama saja aku tidak percaya padanya selama ini. Padahal sejak kejadian di taman belakang sekolah tempo lalu, aku sudah menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Dan bukannya aku tidak percaya saat ini, aku hanya takut.

"Kamu pengen banget ke Bukit Harapan?" tanya Gazlan lagi, namun dengan pertanyaan yang berbeda.

Lantas, aku menggeleng. "Enggak. Udah deh, Lan. Aku serius nggak kenapa-kenapa. Aku baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir gitu." 

"Tapi wajah kamu nggak seceria seperti biasanya, Na."

"Perasaan kamu doang, paling. Buktinya aku senyum, nih." Kemudian aku memamerkan senyumanku yang paling manis, "Tuh, udah."

Gazlan menggeleng, menganggap kelakuanku ada-ada saja. "Ya udah. Iya, aku percaya deh sama kamu. Sekarang kamu abisin dulu jus kamu. Bentar lagi kayaknya mau bel."

"Oke!" Aku mengangguk secara mengacungkan satu ibu jariku.

Ketahuilah Gazlan, bahwa aku mencintaimu. Aku menginginkanmu, aku menyayangimu. Oleh karena itu, jangan buat aku kecewa dengan apa yang nanti kamu lakukan. Oleh karena itu, jangan pupuskan harapan yang sudah kamu berikan. Karena aku bisa mati jika kamu melakukannya.

✨✨✨

"Pesta ulang tahun lo tinggal dua hari lagi 'kan, ya, Bel?"

"Yap! Dateng ya,"

Dari kejauhan, aku mendengar suara Bella dan temannya yang berasal dari kelas lain. Lantas aku mendongak dan mendapati Bella yang sedang berjalan ke arah meja belajarku. "Hai, Karina!"

"Eh—Hai."

"Gimana? Lo udah siap buat pesta gue?" tanyanya sembari membalik kursi di hadapanku.

Oh, tentu saja belum. Aku bahkan lupa kalau Bella mengundangku dalam acaranya. Maklum, undangan itu 'kan sudah lebih dari seminggu kukira. Jadi aku lupa. Tapi rasanya tidak mungkin kalau aku bilang padanya aku belum siap. Itu bisa mengecewakan dirinya.

"Udah, kok, udah."

"Dandan yang cantik, ya." katanya berpesan padaku.

"Sip!" ucapku membalas.

Kemudian hening sesaat. Kami sama-sama diam. Sampai kudengar suara Bella lagi yang bertanya kepadaku. Bukan soal pesta ulang tahunnya, tapi soal Milka yang tadi kulihat pergi bersama Danu. "Eh, by the way, Milka itu pacaran sama Danu, ya?"

Satu kalimat yang muncul di otakku adalah; pergi bersama belum tentu berpacaran. Aku yakin Milka tidak semudah itu berpacaran dengan seorang lelaki. Aku juga yakin kalau Milka—seandainya dia berpacaran—Danu bukanlah tipenya.

"Rin?"

"Ah, iya, sorry. Anu... aku nggak tahu, Bel."

"Bukannya lo sahabatnya, ya? Masa lo gak tahu sih? Dia nggak cerita apa-apa sama lo? Atau jangan-jangan lo lagi berantem sama dia, ya? Soalnya akhir-akhir ini gue perhatikan kalian berdua udah jarang ngomong, udah jarang ke kantin bareng. Lo lebih sering sama Gazlan ketimbang sama Milka."

Deg! Apa Bella bilang? Mengapa kesannya terdengar aku yang menjauhi Milka demi Gazlan?

Langsung saja aku bicara. Aku tidak mau dicap sebagai orang yang tidak menghargai sahabat. Bukannya yang dari awal aneh adalah Milka? Dia yang melarangku berpacaran dengan Gazlan tanpa alasan yang jelas. "Mm.. Bella, kalau kamu mau bahas soal Milka, maaf aku nggak bisa. Kalau kamu ada pertanyaan, kamu bisa tanya langsung ke Milka tanpa harus melalui aku." kataku dengan nada tegas.

Kontan saja wajah Bella jadi berubah. Dia memandangku aneh. Wajar, aku mengerti hal itu. Bella menaikkan sebelas alisnya, menatapku dengan siratan keheranan. "Rin, lo nggak apa-apa 'kan?"

Aku menggeleng, "Nggak. Aku nggak apa-apa. Sorry."

"Ya, it's okay, nggak masalah. Lagian gue juga iseng doang tanyanya."

Aku mengangguk pelan.

"Gazlan mana?"

"Gazlan?" Aku malah balik bertanya. Habisnya aneh kedengarannya. Kupikir Bella masih suka kepo. "Dia sama teman-temannya. Kenapa?"

"Oh, enggak. Cuma pingin tanya aja. Mm.. kalau gitu gue ke toilet dulu, ya. Jangan lupa buat dua hari lagi dan penampilan terbaik lo sama Gazlan. Jangan kecewakan gue, oke?"

Aku mengangguk seraya tersenyum manis. Kemudian, aku melihat Bella berdadah-ria kepadaku dan pergi meninggalkan kelas untuk pergi ke toilet—katanya. Sementara itu, dalam dudukku aku berpikir sekiranya apa yang akan aku kenakan saat pesta ulangtahun Bella berlangsung.

Kok gak sabar mau ending, ya? Tenang aja, bentar lagi kok, hehehehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kok gak sabar mau ending, ya? Tenang aja, bentar lagi kok, hehehehe.

Semoga suka, ya. Maaf kalau aneh, apa daya penulis amatir ini, ehehe.
Btw, jangan lupa vote dan comment. Makasiiihh

Love,

Jessie

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang