[] 31 []

152 16 4
                                    

Andai saja kamu tidak ada di muka bumi ini, mungkin yang namanya kehilangan tak ada dalam kamus kehidupan ini
-Elevar-

✨✨✨

Hari Sabtu pun tiba. Lengkap dengan setelan berwarna putih, yaitu kemeja putih dengan sedikit corak di bagian lengan serta rok putih polos selutut, aku yang dibantu oleh Bi Ijah segera ke ruang tamu untuk menemui papa yang lebih dulu siap disana.

"Sudah, Karina?" tanya papa ketika wujudku dan Bi Ijah sudah berada di ruang tamu. Lantas aku mengangguk dan papa pun berjalan keluar rumah disusul aku dan Bi Ijah. Tak perlu menunggu waktu lama, mobil telah siap dan aku dibantu papa serta Bi Ijah naik ke atas mobil. Sementara itu, setelah membantuku, papa masuk ke dalam mobil dan Bi Ijah mengunci pintu serta gerbang. Dalam hitungan detik, kami bertiga sudah pergi meninggalkan rumah menuju rumah nenek.

Ngomong-ngomong soal jalanan yang aku lewati, berhubung hari ini hari Sabtu, jadi jalanan begitu ramai. Mungkin beberapa masyarakat juga libur dari pekerjaannya maupun sekolahnya—sama sepertiku dan papa. Eits—ralat. Papa tidak libur, tapi meliburkan diri.

Yap, aku membujuk papa supaya bisa menyediakan waktu. Kebetulan juga, di hari Sabtu pekerjaan papa tidak terlalu berat. Jadi, daripada buang-buang waktu di kantor, lebih baik ziarah ke makam mama, bukan?

Setibanya di rumah nenek, ada kakek, nenek dan Tante Rosa yang sudah berada di teras bersiap untuk masuk ke dalam mobil Tante Rosa. Ya, kami memang berencana untuk beriringan menuju makam mama. Sebelum kedua mobil melaju, nenek sempat berpesan pada papa agar berhenti di Jalan Melati untuk membeli bunga. Baru setelah itu, kami sama-sama meninggalkan rumah nenek untuk pergi ke tujuan sesungguhnya.

✨✨✨

Pemakaman Husada nampak dipadati oleh para peziarah. Kami sekeluarga segera turun dari mobil dan masuk ke dalam kompleks pemakaman. Kebetulan, makam mama ada di ujung kompleks. Jadi, butuh beberapa menit bagi kami sekeluarga untuk bisa tiba di makam mama. Apalagi ditambah jalanan yang penuh dengan kubangan air sisa hujan dua hari yang lalu.

Saat kami bertiga telah menginjak tanah yang jaraknya lima meter dari makam mama, aku melihat beberapa orang berpakaian putih berdiri mengelilingi makam mama. Lantas aku bertanya-tanya dalam hati. Siapa mereka? Apa kerabat dekat mama? Sebab aku tak bisa melihat wajah-wajah mereka. Mereka nampak menunduk, bahkan salah satunya malah berjongkok sambil memegang nisan salib milik mama. Sepertinya dia menangis.

"Itu siapa, ya, Kris?" tanya nenek kepada papa. Rupanya nenek juga menyadari hal yang sama denganku.

Papa memicingkan matanya, berharap bisa melihat dengan jeli siapa orang-orang yang ada disana. Namun sayangnya tetap tidak bisa. Astaga, kami malah saling melempar tanya satu dengan yang lain. Kalau menurut papa, segerombolan orang disana adalah teman sekantor mama yang dulu sangat dekat dengan mama. Iya, mama adalah orang yang sangat supel. Makanya tidak heran kalau mama punya banyak teman.

Maka dari itu, kami mempercepat langkah kami agar segera sampai disana—dengan harapan kami bisa mengetahui siapa orang-orang itu sekaligus bertegur sapa dengan mereka. Tapi rupanya dugaan kami salah. Aku berharap aku tak salah melihat. Astaga, rasa takut itu kembali menyeruak dalam dadaku.

"Kalian?" Suara yang terdengar tak ramah itu menyambut kedatangan kami berenam. Tentu saja papa mengisyaratkan pada Bi Ijah yang mendorongku untuk mundur dan papa membuat blokade di hadapanku. "Mau apa kalian kesini?"

Meskipun papa telah menutupi pandanganku, aku masih bisa melihat apa yang sekarang terjadi di hadapanku. Dan menanggapi itu semua? Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku cemas.

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang