[] 28 []

139 16 3
                                    

"Okay, pelajaran hari ini selesai, ya. Kalian boleh istirahat."

Aku menutup buku tulis yang ada di hadapanku. Pelajaran bahasa Inggris hari ini cukup menguras otakku. Apalagi, tadi pagi aku tidak sarapan. Memang salahku, sih. Tapi saat aku ingin berangkat sekolah, perutku benar-benar terasa penuh. Jadi aku memutuskan untuk beli makanan di kantin saja. Dan puji Tuhan-nya, aku dan Gazlan memang akan makan bersama di kantin.

Mengeluarkan botol minum dari dalam laci, kuharap Gazlan segera menjemputku. Tapi tidak. Sekitar lima menit aku harus menunggu. Padahal ada Milka di sebelahku. Sungguh, sejak awal dia menaruh bokongnya pada permukaan kursi hingga pelajaran pertama ini selesai, kami sama sekali tidak berbincang.

Aku mengerti keputusan yang aku ambil salah. Seharusnya aku bisa mengendalikan diri. Seharusnya aku bisa lebih bersikap dewasa. Seharusnya juga, aku bisa mengalah darinya. Tetapi, jika aku melakukan itu semua, sama hal-nya dengan aku melukai perasaan Gazlan. Aku tidak mau Gazlan terluka.

Kalian boleh bilang bahwa aku lebih memilih pacar daripada sahabat. Aku mengerti. Namun, cobalah sesaat jadi aku agar kalian tak perlu menerka-nerka mengapa aku melakukan ini semua. Aku menghela nafas panjang. Kulirik Milka lewat sudut mataku. Dia sedang chat dengan seseorang. Tumben sekali dia. Biasanya kalau istirahat dia tetap berkutat pada tugas-tugasnya. Hari ini dia mengalami banyak perubahan. Entahlah kalau besok dan seterusnya.

Aku jadi berharap pada Tuhan agar Milka bisa kembali seperti semula.

Lupakan. Untuk apa aku peduli?

Tak lama dari itu, aku melihat kepala Gazlan menyembul di dekat pintu kelas. Astaga, Gazlan. Tingkahmu sungguh seperti anak kecil. Mm.. ralat. Bukan anak kecil. Tapi lebih tepatnya tuyul. Aku tersenyum melihatnya dan mengangguk mengizinkannya untuk masuk ke dalam kelas.

Sesaat setelah Gazlan masuk, sama hal-nya denganku yang menyadari perubahan pada Milka, Gazlan yang orangnya lebih frontal dan grusah-grusuh dibanding aku sengaja mencolek bahu Milka. Hal itu mampu membuatku terkikik geli, tapi tidak saat aku mengetahui balasan Milka akan perlakukan Gazlan.

"Iya, kenapa, Lan?" tanya Milka.

Entahlah, aku seperti melihat Milka dalam sosok orang lain. Sejak kapan Milka bisa ramah dengan Gazlan? Bukannya dia yang melarangku untuk berteman bahkan berpacaran dengan Gazlan. Dasar muka dua!

"Enggak. Gue cuma iseng aja." jawab Gazlan dengan kekehan, "Eh, iya. Ini serius lo?"

Milka mengangguk, "Memangnya aku mirip siapa?" katanya dengan suara yang sangat lembut.

"Ya nggak juga, sih. Tapi... by the way... gue sebenarnya mau bilang kalau gue lebih suka dandanan lo yang dulu. Terkesan lebih natural aja gitu, lho. Ya gak, Na?" Gazlan tiba-tiba menyebut namaku. Aku yang tidak sepenuhnya menyimak ucapan Gazlan lantas mengangguk saja. Entah apa dampaknya ucapanku, aku melihat Milka menoleh ke arahku dan memberiku tatapan aneh. Ya, aneh. Karena tak bisa kuketahui apa makna tatapannya.

"Ya udah, Mil. Gue ama Karina mau capcus dulu ke kantin. Duluan, ya?"

"Ya." kata Milka.

Kemudian Gazlan beralih ke belakang kursi rodaku dan mulai melajukan kursi rodaku untuk meninggalkan kelas dan menuju ke kantin.

✨✨✨

"Milka kok bisa berubah gitu, sih?" tanya Gazlan disela-sela acara sarapan kita. Aku mendongak, kemudian menggeleng sekali. Tentu saja aku tak tahu apa jawabannya. Aku saja juga bertanya-tanya pada diriku sendiri, dan sampai sekarang belum ketemukan jawabannya.

"Lho, kamu 'kan sahabatnya."

Iya, itu dulu. Tapi kurasa aku tak bisa mengatakan itu pada Gazlan. Kalian ingat 'kan saat aku di taman sekolah bersama Gazlan? Dimana aku ragu terhadap dirinya yang telah memintaku menjadi kekasihnya? Hal itu terjadi karena Milka yang berhasil mengacaukan pikiranku dengan bilang bahwa Gazlan tidak baik untukku. Sejak saat itu, hubunganku dengan Milka menjadi renggang. Kami perang dingin, sampai saat ini.

Serta, aku juga tak mungkin mengatakan mengapa aku bisa putus hubungan dengan Milka. Pasti Gazlan akan menyalahkan dirinya sendiri.

"Iya nanti aku coba tanya sama dia, ya. Kenapa dia berubah kayak gitu. Emang kenapa sih kok kamu tanya sama aku. Milka tambah cantik, ya?" Entahlah, niat jahil tiba-tiba muncul di otakku.

"Aku nggak bilang gitu, ya."

"Tapi kok firasatku mengatakan seperti itu ya? Ngaku aja kali, Lan."

"Ya udah deh, iya. Aku ngaku."

"Milka cantik 'kan?" Aku menaikkan sebelah alisku.

"Nggak. Kamu yang cantik." ucapnya.

"Haish, mulai lagi!" Aku kembali murung. Sekelebat bayangan kejadian tadi pagi kembali mengecoh kepalaku. Aku tidak mau melakukan hal konyol lagi akibat gombalan Gazlan. Memalukan, tahu, nggak?

"Lho, aku serius kali, Na. Kamu emang cantik. Kalau kamu nggak cantik, mana mau aku sama kamu." celetuk Gazlan dengan kekehan—membuatku mendelik.

"Berarti kamu suka sama aku cuma karena aku cantik?"

"Siapa bilang?"

"Kamu lho ya."

"Bercanda doang kali." katanya. "Ya udah, ya udah. Nggak usah dibahas lagi soal Milka. Intinya, nanti kita jadi ke Bukit Harapan 'kan?"

"Jadi, dong." ucapku semangat.

"Aku perlu jemput kamu jam berapa?"

"Jam lima sore aja. Biar sampai sananya tepat. Entar kalau terlalu awal kan percuma. Bintangnya belum ada. Hehe."

"Oke, deh. Ya udah lanjut makan. Nanti keburu jam istirahat habis lagi."

Aku mengangguk, kemudian menunduk untuk kembali menikmati nasi goreng ayam Bu Dodo yang Gazlan pesankan untukku. Terimakasih, Gazlan. Hahaha.

Entahlah, aku usahakan pada bulan Mei Elevar selesai, ya, gengs

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entahlah, aku usahakan pada bulan Mei Elevar selesai, ya, gengs. Makanya, selalu dukung aku biar aku semangat dalam menyelesaikan Elevar. Thank you!

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang