Karina Latisha adalah seorang gadis tuna daksa yang ingin merasakan indahnya dunia remaja. Memberanikan diri untuk bersekolah di sebuah sekolah swasta, ia bertemu dengan sosok Gazlan Samudera yang memiliki pesona bak Dewa Yunani. Keduanya punya rasa...
"Jadi, dulu waktu kelas sepuluh, aku itu sekelas sama Milka. Kita berdua nggak begitu dekat sih. Dia itu orangnya pendiem banget. Kayak patung malah. Nyaris nggak ada suaranya. Suatu ketika, aku sama dia sekelompok tugas ips. Kamu kan tahu aku nggak begitu jago ips. Jadilah si Milka yang ngerjain. Karena aku nggak enak sama dia, aku suruh dia main ke rumahku. Maksudnya biar dia ngerjain, aku yang nyediain makanan gitu. Biasalah, simbiosis mutualisme."
Kata-kata itu terus saja terngiang di benakku. Kukira Gazlan dan Milka tidak pernah berbincang-bincang. Ternyata dugaanku salah. Ternyata mereka pernah sekelas, bahkan satu kelompok. Dari semua itu, bisa kusimpulkan bahwa Milka pernah dekat dengan Gazlan. Ya kemungkinan paling besar adalah menjadi temannya.
Apalagi, kenyataan setahun mereka berada pada satu ruang kelas yang sama membuatku tambah merasa yakin kalau setidaknya mereka memang benar-benar hampir mengenal satu sama lain. Buktinya Gazlan tahu kalau Milka itu adalah gadis pendiam. Dan Milka juga tahu bahwa Gazlan adalah salah satu cowok yang masuk dalam deretan orang favorit di Bunga Bangsa.
"Karina,"
Tiba-tiba saja, aku mendengar suara papa serasa menggema di ruang kamarku. Lantas aku menoleh ke belakang dan mendapati papa sedang berdiri di ambang pintu kamarku sambil menyandar di kusen pintu. Kedua tangannya yang sudah mulai berkeriput itu ia lipat di depan dada.
"Papa?" ucapku. "Ada apa, Pa?"
"Justru harusnya papa yang tanya sama kamu. Kamu ngapain aja? Ini sudah jam berapa?" tanya papa seraya melirik ke arah jam dinding di kamarku. Tentu saja aku mengikuti arah pandang papa. Payah! Jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam! Bagaimana bisa aku baru menyadari itu semua? Kemana saja aku?
"Kamu nggak mau makan malam? Bi Ijah sudah masak ca kangkung kesukaan kamu, lho." sambung papa.
"Iya, Pa. Maaf... Karina bener-bener nggak nyadar kalo udah jam segini. Papa sendiri udah makan?" tanyaku sembari melakukan kursi rodaku mendekati papa.
Papa menggeleng, "Enggak. Belum. Papa nggak bisa makan malam tanpa kamu, kan?" Beliau mengangkat sebelah alisnya, kemudian tersenyum kecut.
"Ya udah, yuk kita makan!" ajakku semangat.
Untuk sesaat, aku harus melupakan masalah ini. Aku ingin makan malam dahulu bersama papa. Baru nanti setelah selesai makan malam, kemungkinan besar aku akan kembali memikirkan masalah itu.
✨✨✨
Tin... tin....
Suara itu membuatku mengalihkan perhatian dari meja belajar ke arah jendela kamar. Siapa itu malam-malam begini main klakson? Apakah dia tak berpikir bahwa aksinya bisa membangunkan orang tidur atau menganggu orang lain yang sedang beraktifitas sepertiku?
Keterlaluan.
Lantas, karena dibubuhi rasa penasaran yang tinggi sampai melambung ke awan-awan, aku melajukan kursi rodaku ke arah jendela dan serta-merta membuka gordyn yang kali ini berwarna biru muda.
Serempak terbukanya gordyn kamarku, aku melihat seorang lelaki bertubuh kekar turun dari mobil sedan warna hitam. Oh... itu bukannya kakaknya Chelsea? Sebentar aku mengamati lelaki itu. Sekilas memang tampan seperti Gazlan. Tapi tenang saja. Gazlan tetap yang terutama di hatiku.
Entah apa yang membuatku tidak ingin berhenti begitu saja.
Aku ingin mengamati dirinya lebih lama. Mengamati gerak-geriknya yang terkesan maskulin itu.
"Kakak!"
Tak kusangka, Chelsea muncul dari balik pintu. Jika aku melihat wajah gadis itu, aku tidak menemukan sorot sendu di wajahnya. Dia terlihat bahagia saat mengetahui sang kakak pulang walaupun larut malam.
"Kenapa baru pulang?" tanyanya.
"Lo buka dulu pintunya." kata lelaki itu.
"Iya, bentar. Kakak baik-baik saja, kan? Kemarin Chelsea telepon, tapi Kakak nggak angkat. Oh iya. Kata Mama, Mama nggak masak. Jadi kalau Kakak lapar, Kakak bisa rebus mi instan."
"Gue udah makan." jawab cowok itu.
Astaga. Tak bisakah ia bersikap lembut pada adiknya sendiri?
"Yuk, masuk." ajak Chelsea pada sang kakak. Karena pintu sudah dibuka, pria itu kembali masuk ke dalam mobilnya dan mulai menyalakan mesin untuk memasukkan mobilnya ke teras rumah. Setelah mobil itu berada pada teras, cowok itu keluar dari mobilnya. Sementara Chelsea yang sedang mengunci gerbang tak sengaja melihat binaran lampu di hadapannya. Ya. Itu lampu kamarku.
Aku mengulum senyum manis pada dirinya. Lalu dia membalasnya dengan senyuman yang menurutku adalah senyuman yang paling imut yang pernah dia berikan padaku. Dia juga melambaikan tangannya tanda senang berjumpa denganku walau kami berdua dibatasi oleh dinding kaca jendelaku.
Bersamaan dengan itu, wajahku telah berhasil ditangkap oleh indra penglihatan lelaki itu.
Tidak.
Dia diam, terpaku. Begitu juga aku yang telah menatap kedua matanya secara intens. Mengapa rasanya aneh? Mengapa rasanya sangat aneh saat aku bertatapan dengannya? Mengapa ada sesuatu yang tak kumengerti apa itu. Seperti sinyal. Tapi sinyal apa? Apakah perasaanku terhubung ke internet? Konyol.
Aku mengerjap kala ia juga mengerjapkan mata.
"Hayo liatin apa?" seru Chelsea pada sang kakak.
"Lo kenal sama dia?" tanya lelaki itu.
"Kenal! Namanya Kak Karina. Kenapa? Cantik, kan? Lebih cantik dari Clara."
"Diem lo. Anak kecil gak tau apa-apa."
Clara? Siapa itu?
"Eh, ngece. Biarpun Chelsea masih kecil, seenggaknya adik kakak yang cantik ini bisa bedain mana yang high-class dan yang kampungan."
"Gak usah bahas itu bisa gak, sih, Dek? Gue capek. Lo kunci pintunya."
"Salah sendiri gak pulang seharian! Bruh!"
Sebentar, sebentar. Aku sedikit bingung dengan kejadian yang ada dihadapanku. Jadi, Clara itu pacarnya lelaki itu? Ya. Firasatku mengatakan seperti itu. Lalu? Apa maksudnya dari high-class dan kampungan? Bagaimana bisa, seorang gadis berusia tujuh tahun, paham hal-hal begituan. Aku saja yang sudah kelas dua SMA belum sepenuhnya tahu tentang apa itu cinta.
Suara gemerincing kunci kembali membuyarkan lamunanku. Kulihat Chelsea sudah mengunci gerbang rumahnya. Semuanya berubah. Seketika, sepi melandaku. Seperti ada yang kurang, tapi apa? Aku tidak tahu. Aku ingin bertanya. Tapi kepada siapa? Dan mengapa juga aku harus bertanya jika itu adalah hal yang tak ada jawabannya?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yup.
Part ini gaje banget. Tapi, percaya nggak percaya part ini yang akan membuat cerita ini akan ending dengan baik tanpa gantung sedikit pun.
Bukannya aku tidak mau membuat part pengantar yang baik, tapi aku rasa tentang siapa itu kakak dari Chelsea nggak perlu diperjelas asal-usulnya. Cukup garis besarnya aja.
Oke, sekian.
Happy 800 viewers, ya! Tanpa kalian, aku nggak mungkin bisa membuat part ELEVAR sebanyak ini.