[] 14 []

247 29 8
                                    

Mobil yang dikemudikan Gazlan telah tiba di depan rumahku. Setelah ia mematikan mesin dan turun mendahuluiku, ia langsung memutari mobil dan membuka pintu bagasi untuk mengambil kursi rodaku. Merasa sungkan, aku membuka pintu mobilnya sendiri. Aku tidak mau dia memperlakukanku seperti aku adalah seorang tuan putri. Ya setidaknya aku tahu tata krama yang baik.

"Ayo, turun," ajaknya lemah lembut. Dia kemudian membantuku keluar dari mobilnya dengan sangat hati-hati.

Sesudah aku berhasil keluar dari mobilnya dan kembali menjadikan kursi roda sebagai topangan tubuhku, dia menutup pintu mobilnya lalu mendorong kursi rodaku sampai ke depan gerbang.

"Bi Ijah!" panggilku pada Bi Ijah. Namun, tak ada tanda-tanda pintu akan dibukakan.

"Bi Ijah! Tolong bukain pintunya, dong!" seruku lagi.

Aku malah jadi grogi sendiri gara-gara ada Gazlan di belakangku. Maklumlah, suaraku yang tidak terlalu indah ini bisa memalukan diriku sendiri.

"Bibi lo lagi tidur mungkin. Makanya nggak dibukain." Gazlan menyeletuk, "Atau ini jalan Tuhan supaya kita bisa barengan agak lama." Terakhir, aku mendengar kekehannya yang membuat darahku seperti berhenti mengalir. Sudah kubilang jangan menggombal, tapi dia tetap melakukannya.

Aku tidak menghiraukannya, aku memilih untuk terus memanggil Bi Ijah dari luar rumah.

"Lo tinggal sama Bibi lo doang?" tanya Gazlan.

"Enggak. Ada Papa juga." jawabku.

"Mama lo dimana?"

"Udah pergi. Mama udah nggak ada sejak aku umur lima tahun. Aku cuma tinggal sama Papa dan Bi Ijah."

Kudengar Gazlan tak bersuara lagi. Dia diam, mungkin merasa bersalah karena telah menanyakan hal yang mungkin dipikirnya membuatku sedih. Paling sebentar lagi dia akan mengucapkan kata maaf.

"Maaf," ucapnya. Aku tersenyum dalam hati.

"Iya nggak apa-apa, kok."

"By the way, gimana kalau sampe nanti lo nggak dibukain pintu sama Bibi lo?"

"Pasti dibukain. Bi Ijah nggak setega itu." jawabku bergurau.

Tak lama dari itu, aku mendengar gemerincing kunci yang kian lama semakin kencang suaranya. Jelas itu adalah Bi Ijah. Bi Ijah sudah hampir membukakan gerbang untukku.

"Siang, Bi," sapaku.

"Siang, Non. Maaf tadi Bibi habis shalat dluhur, ja— Lho, ini siapa?!"

Aku melihat sepasang mata Bi Ijah membelalak kaget. Aku terkikik. Pasti Bi Ijah terkejut karena adanya Gazlan di belakangku. Jujur saja, ini baru pertama kalinya aku mengajak teman ke rumahku. Dan kebetulan orang yang aku ajak adalah Gazlan—primadona cowok di sekolahku, yang ketampanannya membelah tujuh langit sekaligus. Pasti Bi Ijah kepincut.

"Ini pacarnya Non Karina?" Bi Ijah bertanya padaku.

"Bukan, Bi. Ini teman Karina. Namanya Gazlan."

Setelah aku mengucapkan itu, Gazlan mengulurkan tangannya ke hadapan Bi Ijah, "Gazlan Samudra, Bi."

"Ijah Suhapsari." sahut Bi Ijah.

Lucunya Bi Ijah yang wajahnya menampilkan kepolosan itu. Bisa-bisanya dia ikut menyebutkan nama. Aduh, aku jadi geli sendiri dibuatnya.

"Bi?" panggilku karena Bi Ijah melamun.

"Eh, i-iya, Non?"

"Karina nggak boleh masuk, nih?"

"Astaga. Iya atuh, Non. Maaf Bibi ngalamun. Habisnya temennya ganteng banget mirip artis-artis gitu." ujar Bi Ijah polos, membuat aku dan Gazlan terkekeh pelan.

Bi Ijah memberi jalan untukku dan Gazlan agar bisa masuk ke pekarangan rumah. Setelah tiba di pekarangan rumah, aku berucap pada Gazlan, "Udah disini aja. Aku bisa masuk sendiri sama Bi Ijah. Makasih banyak, ya, udah mau nganterin aku."

"Iya, sama-sama. Btw, Bibi lo lucu, ya? Udah nikah atau belum sih?"

"Kamu, nih, tanyanya kenapa harus gitu?" Aku menahan tawa.

"Ya nggak apa-apa, dong. Cuma mau tahu aja. Udah atau belum?"

"Ya sudahlah. Bibi sudah menikah, dan suaminya ada di Desa."

"Oh, syukurlah kalau begitu." Gazlan menghembus nafas lega.

"Syukur?"

Dia mengangguk, "Soalnya kalau Bibi lo belum menikah, bisa-bisa kalian berdua rebutin gue."

"Ih, apaan, sih?"

"Intermezo," balasnya santai. "Oh, iya. Gue mau minta nomor telepon lo, boleh? Biar kalau lagi gabut, gue nggak bosan-bosan amat di rumah."

"Boleh, sih, boleh. Tapi aku jadi pelarian dari bosennya kamu doang, dong."

"Ya nanti kalau udah sering teleponan, kan, bukan pelarian lagi. Tapi kewajiban."

Tuh, kan. Gombal lagi, gombal lagi. Aku cukup mengerti apa maksud dari kata kewajiban yang ia ucapkan.

"Ya udah. Mana handphone kamu? Biar aku yang ketik nomornya."

Gazlan merogoh saku kemejanya lalu keluarlah benda berbentuk persegi panjang dan pipih dari dalam sana. "Nih," katanya sambil memberikan benda itu padaku. Setelah aku menerima benda itu, aku mengetikkan nomor ponselku disana.

"Sudah." Aku mengembalikan ponselnya.

"Oke! Nanti malem gue telfon, ya."

Aku hanya tersenyum simpul menanggapi ucapannya.

"Kalau gitu, gue pulang dulu, ya? Sampai ketemu besok di sekolah." pamitnya sebelum pergi meninggalkan aku dan Bi Ijah.

"Iya, hati-hati."

"Bi Ijah, Gazlan pamit dulu, ya." pamit Gazlan pada Bi Ijah.

"Iya, Den. Hati-hati."

Setelah itu, Gazlan pulang. Mobilnya sudah melaju, hilang dari pandanganku. Akhirnya, aku tidak grogi lagi. Karena asal kalian tahu aja, di dekat Gazlan aku merasa seperti diawasi. Tapi, ada satu perasaan yang menyelusup ke dalam hatiku, yang tidak aku tahu perasaan apa itu.

"Non, temennya ganteng banget, ya." Bi Ijah membuyarkan lamunanku.

"Iya, Bi, ganteng. Cuma masih gantengan Paman Dudung, kan?"

"Ya kalau itu selalu-lah, Non. Kang Dudung nggak ada gantinya."

"Siap, Bi, siap!"

Jangan lupa vote dan comment, ya, teman-teman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote dan comment, ya, teman-teman. Terimakasih untuk kalian yang sudah mau meluangkan waktunya untuk baca cerita gak penting kayak gini, hehe. Thank you all!

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang