Karina Latisha adalah seorang gadis tuna daksa yang ingin merasakan indahnya dunia remaja. Memberanikan diri untuk bersekolah di sebuah sekolah swasta, ia bertemu dengan sosok Gazlan Samudera yang memiliki pesona bak Dewa Yunani. Keduanya punya rasa...
Semoga saja kelabu tidak merusak putih. -Karina Latisha-
✨✨✨
Begitu cepatnya waktu berjalan. Bahkan, hari ini sudah hari Senin lagi. Hari dimana bagi kebanyakan orang adalah hari yang sial menurut mereka. Ya, kalian tahu sendiri. Hari Senin itu seolah jadi magnet buat pekerja kantoran, kaum awam tak terkecuali pelajar sepertiku. Hari Senin memang identik dengan hal-hal penting untuk mengawali kegiatan kita seminggu ke depan.
Mobil yang dikemudikan Papa sudah sampai di gerbang sekolah. Layaknya hari-hari sebelumnya, aku dibantu Papa untuk keluar dari mobil dan diantarkan Papa sampai ke kelas. Kondisiku selepas aksi pembulian yang dilakukan Bella memang tidak luput dari perhatian banyak siswa. Mereka memperhatikanku seperti aku adalah seorang penjahat kelas kakap. Padahal, tidak.
Ya... sebut saja pemikiranku bodoh. Aku menyadari bahwa mereka tidak sepenuhnya salah. Melihatku mungkin bagi mereka seperti melihat sebuah mainan baru. Jadi, wajar saja jika mereka memperlakukanku sedemikian rupa walaupun sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah kesalahan.
"Karina?" Suara Milka menggugahku. Aku menolehkan kepala ke arahnya, lalu menatapnya bingung. "Kamu udah dateng? Kapan?"
"Lima menit yang lalu. Baru nyadar?"
"Iya. Sumpah, deh. Aku barusan aja tahu kalau kamu udah dateng." katanya.
Aku tersenyum, "Makanya, jangan kerajinan, Mil. Akibatnya jadi nggak peduli sama sekitar dan pengen diri yang selalu jadi nomor satu. Iya, kan?" Aku menyisipkan nada gurauan di ucapanku.
Aku paham betul bagaimana Milka. Memangnya, apa penyebab dari dirinya yang memakai kacamata, kalau bukan karena terlalu rajin membaca buku?
"Ih, kamu apaan, sih, Rin?" Milka menyenggol bahuku kesal.
"Aku manusia."
"Nggak lucu, ah!"
"Kan memang nggak lucu, Mil. Buktinya aku lagi nggak ketawa." kataku.
"Oke deh, oke. Kamu menang pagi ini." ucap Milka pada akhirnya yang seolah menyerahkan dirinya pada kekalahan. Padahal disini—aku dan dia—sedang tidak berlomba-lomba bukan?
Kami berdua kembali sibuk pada pekerjaan masing-masing. Aku mengeluarkan buku matematika-ku dari dalam tas karena matematika adalah pelajaran pertama pagi hari ini. Waduh, enak sekali, ya, pagi-pagi langsung disambut dengan pelajaran matematika. Great!
"Rin," panggil Milka.
"Iya?"
"Katanya kemarin kamu ditolongin Gazlan, ya?"
Aku cukup tercengang mendengarnya. Mengapa bisa Milka menanyakan hal itu kepadaku? Apakah itu penting baginya?
"Aku denger-denger juga, Gazlan—si primadona di sekolah kita itu—lebih pilih nolongin kamu daripada Bella yang notabene mantan pacarnya sendiri."
"Kamu tahu berita itu darimana, Mil?"
"Berarti benar? Kamu beneran ditolongin sama dia?" desak Milka.
Aku sedikit kewalahan menanggapi Milka. Aku menggigit separuh bibir bawahku. Mengedarkan pandanganku ke segala arah, berusaha menghindari tatapan matanya yang tajam.
"Jawab, Rin. Aku sahabat kamu."
"Eum... gimana, ya? A-aku... Aku itu..."
"Kamu kenapa kemarin Jumat?"
"Aku itu dibuli sama Bella di lapangan, Mil. Yang waktu dia serobot kursi roda aku dari kamu, itu dia langsung bawa aku ke lapangan. Saat itu, Gazlan dateng buat nolongin aku. Aku rasa cerita-cerita kalau Gazlan lebih pilih aku itu salah besar, deh. Gazlan murni nolongin aku, kok, Mil. Bahkan dia nemenin aku sampai Papa jemput aku." jelasku padanya, menjawab semua rasa penasarannya terhadapku.
Aku melihat Milka menggumam, seperti orang yang sedang berpikir. Namun, sejurus kemudian aku melihat dia merekahkan senyumnya. Entah kenapa, aku jadi lega melihat senyumnya kembali muncul di wajah cantiknya itu.
"Lagian... kamu tahu berita kayak gitu darimana, sih?" tanyaku lirih.
"Nggak cuma aku doang yang tahu, Rin. Semua orang juga pada udah tahu. Gosip kalau Gazlan lebih pilih kamu daripada Bella juga udah kesebar seantero sekolah. Makanya itu aku nanya ke kamu soal itu. Tapi kamunya malah nggak mau jawab kayak orang ketakutan gitu. Saran aku, ya, Rin. Kamu mending jaga jarak sama Gazlan."
"Kenapa?"
"Gazlan itu populer. Semua perhatian pasti tertuju ke dia. Dan otomatis, saat kamu ada di deket dia, kayak sekarang ini contohnya, kamu bakalan ikut disorot. Memangnya kamu mau?"
Aku menggeleng spontan, "Nggak. Aku nggak mau. Jangan sampai itu terjadi sama aku."
"Ya makanya itu. Mending kamu agak jaga jarak sama Gazlan. Tapi... aku nggak ngelarang kamu berteman sama siapa aja, lho, Rin. Aku cuma kasih saran aja. Barangkali suatu saat akan ada manfaatnya buat kamu."
Iya, ya, benar juga. Aku lantas mengangguk, mengiakan kata-kata Milka. Tujuanku bersekolah bukan untuk disorot, jadi pusat perhatian, maupun jadi trending topic di sekolah. Aku hanya ingin sekolah. Sekolah sewajarnya. Belajar, bermain, dan membina pergaulan yang baik dengan teman-teman.
Aku diam sejenak. Memikirkan perkataan Milka. Akankah aku harus menjauhi Gazlan agar namaku tidak tercemar?
Entahlah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bab 11 selesai. Tapi maaf belum bisa kasih yang sempurna. Semoga kalian suka, ya, sama cerita ini.