Karina Latisha adalah seorang gadis tuna daksa yang ingin merasakan indahnya dunia remaja. Memberanikan diri untuk bersekolah di sebuah sekolah swasta, ia bertemu dengan sosok Gazlan Samudera yang memiliki pesona bak Dewa Yunani. Keduanya punya rasa...
Jam terakhir sudah habis. Itu tandanya, tinggal beberapa menit lagi kelas menunggu Miss Hana yang habis mengajar di kelas lain untuk evaluasi sekaligus menutup pembelajaran hari ini. Mejaku sudah rapi. Buku-buku yang aku taruh di meja maupun di laci sudah aku masukkan ke dalam. Kini, aku hanya perlu diam menunggu kedatangan Miss Hana.
Sementara di sisi lain, aku ingat kalau hari ini Papa tidak bisa menjemputku awal. Kata Papa, hari ini beliau ada meeting bersama rekan kantornya. Ya sudah, berarti aku pulang agak siang.
Miss Hana masuk ke dalam kelas. Wanita yang sudah dua bulan ini menjadi wali kelasku itu langsung duduk di meja guru dan terlihat mengeluarkan kertas jurnal dari dalam map. Beliau memandangi kertas itu agak lama, kemudian ia memanggil Meli—sekretaris kelas.
"Meli, kok Sir Michael belum tanda tangan?" tanya Miss Hana dengan alis terangkat satu kepada Meli yang duduk persis di hadapannya.
"Anu, Miss. Tadi Sir Michael nggak masuk ke kelas. Jadi, jurnalnya nggak ditanda-tanganin. Terus tadi juga nggak ada guru piket." jawab Meli terkesan seperti tergesa-gesa.
Miss Hana mulai mengerti. Maka dari itu, beliau kembali memperhatikan jurnal itu lagi. "Ya besok kalau ketemu tolong ditanya kenapa nggak masuk ke kelas sama minta tanda-tangannya." ucap Miss Hana tanpa memperhatikan Meli.
"Ya, Miss."
"Memangnya udah berapa kali Sir Michael nggak masuk ke kelas? Ini kok Miss lihat bagian tanda tangannya pada kosong semua."
"Sekitar tiga sampai empat kali, sih, Miss."
"Lah? Kok banyak banget? Kalian dikasih tugas?"
"Dua kali pertemuan dikasih tugas, sisanya enggak kayaknya. Kemarin, sih, Sir Michael udah dicari sama Dodit, tapi katanya nggak ada di ruangannya."
Miss Hana mengangguk paham. "Ya udah besok kalau ketemu ditanya sama minta tanda-tangannya, ya, Mel."
"Ya, Miss." jawab Meli sembari mengangguk.
Aku mendengar percakapan di antara dua orang itu. Sebenarnya, seingat aku Sir Michael—guru IPS kelasku—malah tidak masuk sebanyak lima kali. Jadi, selama kurang lebih tiga kali pertemuan, pelajaran IPS di kelas jadi free time.
Sangat disayangkan sikap Sir Michael. Entah apa yang membuat beliau sering meninggalkan kelas kami. Mungkin beliau berpikir bahwa kelas kami cukup pandai dalam pelajaran IPS, jadi beliau sering meninggalkan kami. Yah... Tapi yang terpenting adalah mau ada guru atau tidak, aku tetap belajar.
Miss Hana menutup pembelajaran hari ini. Selesai berdoa, Dodit mempersilakan teman-temannya untuk mengucap salam. Baru setelah itu, semua murid keluar dari kelas tak terkecuali aku dan Milka.
Milka mendorong kursi rodaku sampai ke teman dekat lapangan. Sebelum dijemput, kami memang biasa menghabiskan waktu disini—di taman sekolah. Entah itu membaca novel, atau mengerjakan tugas bersama.
Tapi, tak tahu ada apa dengan hari ini. Milka mendadak dijemput lebih awal.
"Duh! Aku udah dijemput, tuh, Rin. Gimana dong?" Milka merasa tak enak padaku.
Aku tertegun sebentar, tapi cepat-cepat aku mengubah air muka-ku. "Iya udah nggak papa. Kamu pulang aja. Paling ya bentar lagi aku bakalan dijemput." jawabku berbohong. Karena sehabis Milka pulang, aku akan sendirian disini. Menunggu Papa yang entah kapan akan menjemputku.
Aku juga bisa lihat rona tidak enak di wajah Milka. Mungkin saja dia berat hati meninggalkanku pulang sendirian. Tapi mau bagaimana lagi? Masa Milka harus menemaniku sampai aku dijemput? Tidak mungkin.
"Mm.... ya udah, deh. Aku pulang dulu, ya, Rin. Kalau misalkan ada sesuatu kamu hubungi aku aja. Kamu bawa hape, kan?"
"Bawa, kok!"
Milka tersenyum. Kemudian ia mengambil tas-nya dan pergi meninggalkanku sendirian. Kuperhatikan mobilnya yang perlahan menjauh dari halaman sekolah. Baru setelah mobilnya benar-benar hilang dari pandanganku, aku kembali fokus pada novel romantis yang belum sempat aku selesai baca.
Namun, sebuah suara membuatku mendongakkan kepala. Lantas, di jarak kurang lebih 5 meter, aku menangkap dua laki-laki berdiri di samping motor mereka masing-masing. Aku mengernyit. Entah hal apa yang membuatku jadi ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
"Lo beneran nggak mau?" tanya laki-laki yang duduk di atas motor ninja merahnya itu.
"Gue bilang nggak ya nggak." jawab laki-laki satunya.
"Ayolah, Man! Ini bakalan jadi event terseru yang dibuat Liam. Jarang-jarang dia ajak temen-temennya buat happy-happy. Apalagi lo bebas bawa cewek mana pun yang lo suka."
Aku tersedak. Apa maksud dari ucapan laki-laki yang duduk di atas motor tersebut? Bebas membawa cewek mana pun yang disukai? Apa-apaan, ini? Tanpa sadar, aku menyelipkan sebagian rambutku ke belakang telinga, mengekspos telingaku agar bisa semakin mendengar percakapan mereka.
"Lo belum pernah, kan, ikut acara beginian? Ayolah, Man! Kita bakal seneng-seneng, kok. Lo bebas apa-apain cewek yang nanti ada disana. Gimana?"
"Gue bilang nggak mau ya nggak mau, Finn! Berhenti ganggu gue."
"Siapa yang ganggu lo? Gue cuma menawarkan hal yang cuma sekali seumur hidup bisa lo rasain. Gue jamin lo nggak akan rugi kalau lo ikut acara Liam." Laki-laki yang duduk di atas motor itu terus mencari cara agar temannya mau tergabung dalam acara tersebut.
"Kapan lagi kita bisa seru-seruan bareng temen plus cewek cakep? Gratis pula! Ayolah. Only once."
"Oke-oke. Gue bakalan ikut acara nggak guna milik Liam itu. Tapi, ini yang terakhir kalinya dan gue nggak akan pernah mau gabung lagi sama acara maksiat kayak gitu."
Deg! Aku memendelikan mataku. Mengapa lelaki itu menerima ajakan temannya? Apakah dia tidak berpikir bahwa itu bisa menghancurkan masa muda sekaligus masa depannya? Andai saja aku tidak lumpuh, ingin rasanya aku mencabik-cabik wajah keduanya.
Dasar anak yang tidak pernah menghargai jerih payah orangtuanya!
"Oke! Gue tunggu di club jam tujuh malam. Usahakan dateng awal, ya, Bro!" ucap lelaki yang duduk di atas motor sebelum akhirnya dia kembali masuk ke gedung sekolah.
Mataku masih saja menatap laki-laki yang berperawakan tinggi dengan jaket kulit yang sekarang sudah terpasang di badannya. Tak tahu kenapa, aku jadi ingin mengomel di depan mukanya. Ingin mengata-ngatainya dengan sumpah serapah.
Namun nahas. Tingkahku itu justru membuatku menyesal. Laki-laki itu malah balik menatapku. Dia menatapku dalam, sangat dalam dan lekat. Aku ingin berpaling tapi tidak bisa. Jantungku berdentum hebat, sampai bisa kudengar sendiri detakannya.
Ya, Tuhan... tolong aku...
"Karina?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yeay! Bab 4 sudah datang ke peradaban W...👶👶👶
Ayo, monggo dibaca lan di voteplus di comment!!! 😍😘😚
Oke sekian dulu dari aku. Terimakasih teman2 sampai sejauh ini mau dukung aku. I LOVE YOU SO MUCH!!