[] 16 []

249 25 4
                                    

Sudah sekitar sepuluh menit aku berada di ruang kelas. Kelas masih sepi, hanya ada segelintir orang. Papa memang sengaja mengantarkanku lebih awal dikarenakan Papa ada meeting penting dengan klien. Papa paling anti menyuruhku untuk pergi sendirian, meskipun itu dengan taksi. Makanya, aku harus rela berkorban. Kalau Papa berangkat lebih awal, aku juga ikut berangkat lebih awal—menyesuaikan jam Papa.

Tapi, hari ini tidak seperti biasanya. Aku benar-benar masih mengantuk gara-gara Gazlan. Ya, Gazlan. Tidak pernah sebelumnya aku berangkat sekolah dengan hawa ngantuk seperti ini. Bahkan, mataku masih terasa berat dan rasanya ingin kupejamkan terus. Andai saja Gazlan tidak meneleponku kemarin malam, sudah pasti pagi ini aku segar wal-afiat.

Berhubung jam masih menunjukan pukul enam lebih dua puluh lima menit, aku memutuskan untuk membaca novel yang belum sempat kuselesaikan itu. Kira-kira, aku sudah menyelesaikan setengahnya. Jadi, tinggal sebentar lagi novel karya Dee Lestari itu selesai kubaca.

Saat sedang asyik membaca, aku mendengar suara pintu diketuk. Lantas, aku mengangkat daguku dan kulihat Milka sudah berjalan ke arah tempat duduknya yang ada di sampingku.

"Hai, Milka," sapaku padanya.

"Iya," balasnya tak kalah ramah. Kemudian, dia menarik kursi dan duduk di sampingku. "Tumben kamu dateng pagi," celetuknya yang kubalas dengan senyuman.

"Iya. Papa aku ada meeting jadi harus berangkat lebih pagi."

Aku melihat Milka membentuk mulutnya seperti huruf o. Sementara itu, aku kembali melanjutkan membaca bacaan yang ada di hadapanku. Seperti dugaanku beberapa detik yang lalu, benar saja, Milka sedang mengeluarkan dua buku fisikanya. Astaga, aku saja tidak serajin itu. "Ih, belajar terus... nggak bosan apa?" tanyaku.

Milka memandangku sinis, lalu tertawa, "Iya iya, sama anak yang paling nyantai sedunia." Dia malah meledek.

"Nggak nyantai, ya. Aku belajar, tapi nggak serajin kamu." ucapku membenahi ucapannya. Asal kalian tahu, aku memang tidak serajin Milka. Tapi setidaknya aku tetap belajar dengan tekun, buktinya selama aku bersekolah di Bunga Bangsa tidak ada yang salah dengan nilai-nilaiku.

Suasana kembali hening. Milka kembali belajar fisika sedangkan aku sibuk mengimajinasikan tulisan yang aku baca. Namun, tidak ada hujan tidak ada angin, pintu kelasku kembali diketuk. Spontan saja aku mengangkat kepala, menengok siapa yang menimbulkan suara ketukan itu. Dan, mataku menangkap sosok Gazlan berdiri disana. Dia tersenyum manis ke arahku saat aku memergoki dirinya.

Mau apalagi, sih, dia?

Aku melihat dia komat-kamit—yang kira-kira kalau kubahasakan seperti ini. 'Aku mau minta waktu kamu sebentar,'

Aku mengernyit, pertanda bingung mengapa dia meminta waktuku di pagi-pagi seperti ini. Dan, dia berkomat-kamit lagi. 'Aku masuk ya? Ini penting. Aku butuh kamu.'

Aku tambah tak mengerti, maka dari itu aku tak menjawabnya. Anehnya, Gazlan malah nekat masuk ke dalam kelasku sambil memasang watados alias wajah tanpa dosa. Aku melotot kala itu juga—kala Gazlan menginjakkan kaki di kelasku. Apa-apaan, sih, dia? Mau apalagi?

"Ish, kenapa sih?" gerutuku tanpa sadar, dan itu membuat Milka mengalihkan perhatiannya pada Gazlan yang sedang berjalan ke arahku. 

"Gazlan?" Milka bertanya. "Dia ngapain kesini?"

Aku menggeleng gugup, "Nggak tahu."

"Hai, Milka!" sapa Gazlan pada Milka.

"Ya," sahut Milka.

"Gue pinjam Karina bentar, ya? Ada urusan penting soalnya, nggak bisa ditunda-tunda. Boleh, kan?" kata Gazlan sambil melirik ke arahku.

"Karina?" Milka memandangiku sesaat, tatapannya menelaah. Aduh, dia pasti merasa aku tidak menepati janjinya karena aku berteman dengan Gazlan. Aku jadi merasa bersalah terhadapnya.

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang