Si mata hijau.
✨✨✨
Aku tidak tahu mengapa hatiku bisa kacau begini setelah aku tiba di sekolah. Ada sesuatu yang dari kemarin membuat hatiku gelisah dan jiwaku terguncang. Aku tidak tahu apa itu. Tapi, tatapan yang kujumpai siang hari sebelum Papa menjemput, seolah menyiratkan bahwa mulai hari ini hidupku tidak akan tenang.
Aku memandang gedung sekolah dengan tatapan was-was. Ya Tuhan... seandainya kalian tahu rasanya ada di posisiku saat ini. Aku tidak bisa menjelaskan betapa aku takut dan gelisahnya. Jujur saja, aku tidak mau-ralat-sangat tidak mau bertemu dengan pria yang kemarin.
"Karina?" Papa menyebut namaku saat kami tiba di lobi sekolah.
"Iya, Pa?" jawabku tak langsung karena aku sibuk melamun.
"Ini, barusan klien Papa telfon. Dia bilang dia sudah sampai kantor dan harus segera Papa temui untuk rapat kedua. Kamu nggak papa, kan, Papa antar cuma sampai sini? Papa harus buru-buru soalnya."
Oh, Ya Tuhan.... cobaan apa lagi ini? Aku bahkan harus ke kelas sendirian. Tidak mungkin ada yang mau mengantarkanku sampai ke kelas. Mereka pasti jijik denganku.
"Gimana, Karina? Papa butuh jawaban kamu." Papa kembali membuyarkan lamunanku.
"Ya sudah, Pa. Papa kerja aja sekarang. Karina bisa ke kelas sendiri. Lagipula jarak lobi sama kelas Karina nggak terlalu jauh." jawabku merelakan. Rasanya mustahil jika aku memaksa Papa untuk menemaniku sampai ke kelas. Bisa-bisa, Papa telat pergi ke kantornya.
"Iya, sudah. Sorry ya, Nak. Papa harus pergi. Nanti Papa akan jemput kamu awal. Be the best, ya!" pamit Papa kepadaku sembari mengacak singkat rambutku kemudian berlalu pergi.
Aku kembali melanjutkan perjalananku ke kelas. Meski agak susah karena aku harus memutar sendiri roda yang ada di kursi rodaku. Tiba di ujung lobi, dimana terdapat simpang empat, aku berbelok ke kanan. Dan tepat saat aku berbelok, aku menghentikan kursi rodaku secara mendadak.
Di depan sana, di jarak sekitar delapan meter, aku melihat sosok pria berambut cepak sedang menatapku tajam dengan kedua irisnya. Jantungku berdetak cepat, sengatan-sengatan aneh terasa menjalar sampai ke belakang leherku. Aku terbengong-bengong dalam waktu yang cukup lama.
Namun, beruntung kesadaranku tidak hilang seratus persen. Segera kusatukan puing-puing sadar yang telah tersebar dimana-mana. Aku memutar kursi rodaku secepat kilat, memutus tatapan di antara kami-aku dan dia.
Aku yakin caraku menghindar tidak akan berhasil. Dia jelas tahu aku. Hanya aku satu-satunya perempuan di SMA Bunga Bangsa yang mengenakan kursi roda. Tapi setidaknya, aku bisa mempersulit dirinya dalam mengejarku.
Tiba-tiba, aku menyesal karena sudah berpikiran sok pahlawan. Seharusnya aku tidak perlu penasaran. Seharusnya aku tidak perlu mendengarkan perbincangan mereka. Seharusnya aku juga tidak perlu menatap dia sampai setajam itu.
Aku terus memacu kursi rodaku. Kubelokkan kursi rodaku ke koridor penghubung ruang multimedia dan ruang budaya-koridor yang jarang dilewati oleh para siswa. Tapi, lagi-lagi seluruh tubuhku serasa diberhentikan secara paksa oleh otak. Aku terpaku untuk kesekian kalinya. Suara itu, suara yang kemarin kudengar di lapangan. Memanggil namaku dengan benar-tanpa ada kesalahan sedikit pun.
"Karina Latisha,"
Pusat tubuhku menggebu-gebu. Aku menggigil padahal udara sedang tidak dingin. Atmosfer disekelilingku tak bisa berkompromi. Aku benar-benar menyesal. Sungguh menyesal! Bagaimana bisa sekarang dia ada di hadapanku?

KAMU SEDANG MEMBACA
ELEVAR
Teen FictionKarina Latisha adalah seorang gadis tuna daksa yang ingin merasakan indahnya dunia remaja. Memberanikan diri untuk bersekolah di sebuah sekolah swasta, ia bertemu dengan sosok Gazlan Samudera yang memiliki pesona bak Dewa Yunani. Keduanya punya rasa...