[] 18 []

208 23 4
                                    

"Dapat kue dari siapa, tuh?" Papa bertanya padaku yang baru saja berbalik menutup pintu rumah. Aku menatap kue itu sebentar, lalu menjawab Papa. "Dari Chelsea, Pa. Tetangga baru kita."


"Chelsea? Anaknya tetangga kita maksud kamu?" tanya Papa dan aku membalasnya dengan  anggukan kepala.

"Dalam rangka apa dia ngasih kue begituan?" tanya Papa lagi, sembari menghampiriku.

"Nggak tahu, Pa. Kayaknya sih ulang tahun." jawabku, dan Papa sekarang sudah berada di hadapanku, memandangi kue yang aku pegang. Lantas, aku tersenyum kecil, "Papa mau?" Aku bertanya seperti itu karena aku melihat mata Papa seperti menginginkan kue yang aku pegang.

"Enggaklah." Papa mengelak, "Mau diet, tahu."

"Ha? Diet?" Aku menaikkan sebelah alisku, menatap Papa dengan tatapan bingung. Seumur-umur, aku tidak pernah mendengar kata diet dari Papa. Toh, selama ini bentuk badan Papa juga tidak gemuk layaknya seorang bapak-bapak. Beliau juga tidak kurus kerempeng. Aku rasa bentuk badan Papa sudah pas, mirip artis-artis gitu. Lalu... kenapa diet?

"Papa kegemukan, Karina."

"Kegemukan dari Hongkong?" Aku menyela, "Papa tuh nggak gemuk kali. Papa tuh udah pas segini. Nggak usah diet-diet'an segala. Lagian kenapa sih mau diet?" Aku mulai sebal, padahal nggak ada kaitannya denganku, bukan?

Papa tersenyum malu-malu, "Nggak apa-apa. Udahlah, Papa mau ke kamar dulu. Masih banyak dokumen yang belum Papa baca. Kamu belajar, ya. Sama satu lagi nggak boleh tidur malam-malam."

Kulihat Papa berjalan membelakangi aku, meninggalkan aku dengan satu pertanyaan di otak. Kenapa Papa ingin diet? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan Papa, yang tidak boleh aku ketahui sama sekali? Entahlah, masa bodoh. Kan masih ada Bi Ijah yang akan membantuku makan kue ini.

"Bi Ijaaaahh!!"

✨✨✨

P

onsel yang tergeletak manja di atas nakas itu berdering, membuatku langsung memutar kursi roda yang semula menghadap meja belajar menjadi ke belakang. Aku melajukan kursi rodaku ke arah nakas untuk mengambil ponselku disana.

"Gazlan?" Aku berucap pada diriku sendiri ketika melihat namanya tertera di layar. Serius ini dia? Dia yang tempo hari telah meneleponku? Dan sekarang, ia menelponku lagi? Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku, yang jelas aku bahagia sekarang.

Tak butuh waktu lama, aku segera mengangkat panggilan itu, walaupun disertai spot jantung yang berlebihan. "Halo?" Aku memulai pembicaraan. Sial! Aku memulainya dengan nada girang.

"Iya, halo." sapanya bergantian, "Lagi apa?"

"Nggak lagi ngapa-ngapain, kok," jawabku berbohong. Demi apa aku tidak tahu kenapa aku bisa lebih memilih berbohong ketimbang berkata sejujurnya. Padahal, jika aku berkata yang sejujurnya, kemungkinan besar Gazlan akan mematikan sambungan telfonnya. Dan itu tandanya, aku bisa bebas belajar lagi.

"Kamu kenapa telfon aku?" tanyaku.

"Nggak apa-apa. Gue cuma lagi pengen nelfon lo aja. Kebetulan hari ini juga nggak ada PR, jadi gue punya waktu banyak buat ngobrol sama lo."

"Serius?!" Aku memekik tanpa sadar. Aduh, mengapa aku jadi begini sih? Kenapa aku bahagia sekali ketika Gazlan berkata bahwa dia punya waktu banyak untuk ngobrol denganku? Payah sekali kau Karina!

Aku mendengar dia terkekeh, "Lo kayaknya seneng banget, ya, gue telfon."

"Ha? Ng-nggak, kok. Aku cuma keceplosan aja. Maksud aku kamu enak banget nggak ada PR. Padahal, kelas aku aja tugasnya banyak banget kayak gini. Jam segini aja aku belum selesai ngerjainnya." ucapku berdalih. Untuk sekarang, jangan sampai dia berpikir bahwa aku juga bahagia bisa berbincang dengannya—walau hanya via telfon.

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang