[] 04 []

398 43 1
                                    

Satu hal yang sampai saat ini masih membuatku tak tahu harus berbuat apa. Aku masih ingat dengan jelas semuanya. Aku ingat apa saja yang diobrolkan oleh kedua anak remaja   itu. Aku ingat bagaimana geramnya   aku kepada dua orang itu. Aku juga ingat bagaimana pada akhirnya si pria yang kuanggap baik itu menghunus retinaku dengan tatapan tajamnya.

Aku menghela nafas pelan. Tak tahu kenapa, hatiku jadi gelisah. Tapi aku juga tidak tahu kenapa hatiku bisa gelisah seperti ini. Jalanan yang ramai nyatanya juga tak bisa membuat suasana hatiku jadi berubah. Aku takut. Tapi tak mengerti hal apa yang takutkan.

"Karina?" Papa menyebut namaku.

"Iya, Pa?"

"Kamu kenapa kok diam saja? Biasanya pulang sekolah kamu langsung nyerocos soal kejadian di sekolah."

Aku menggigit bibir bawahku. Panik. Kalau Papa sudah bertanya seperti ini, aku paling pantang untuk berbohong. Tapi, kalau cerita, aku harus cerita apa? Aku rasa kejadian soal tatap-menatap itu juga tidak penting untuk kuceritakan pada Papa.

"Nggak apa-apa, Pa. Karina kebetulan lagi capek aja. Mau cepat-cepat istirahat." jawabku berbohong.

"Benar nggak apa-apa? Kamu nggak sedang menyembunyikan sesuatu dari Papa, kan?" Papa menatapku tajam lewat spion di dalam mobil.

Aku menggeleng, "Karina fine, Pa. Karina benar-benar capek dan butuh istirahat."

Kembali kulihat Papa merekahkan senyumnya. Hatiku kembali damai, meski masih ada seperempat gejolak di dalam sana yang tak bisa aku pahami sama sekali. Ingat kejadian tadi, membuatku sangat bersyukur pada Tuhan karena tepat disaat aku tidak bisa berbuat apa-apa, Papa datang menyelamatkanku.

Mobil yang dikemudikan Papa akhirnya tiba di rumah. Aku dibantu oleh Bi Ijah untuk turun dari mobil. Bi Ijah juga membawakan tas sekolahku ke dalam rumah.

"Non mau kemana?" tanya Bi Ijah sembari mendorong kursi rodaku masuk ke dalam rumah.

"Saya langsung ke kamar, aja, deh, Bi. Karina capek banget, mau istirahat."

"Gak makan dulu, Non?"

Aku menggeleng pelan, "Makan-nya sekalian nanti malam aja, Bi."

"Oh, ya udah." sahut Bi Ijah yang kemudian mengantarkan aku ke kamar. Beliau membukakan pintu kamar untukku dan membawaku sampai ke dalam kamar. "Bibi tinggal dulu, ya, Non?"

Aku mengangguk singkat, "Iya, Bi."

Kemudian, Bi Ijah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar. Setelah benar-benar sendiri,  aku memutuskan untuk berganti pakaian dan tidur siang.

****

Aku terbangun dalam keadaan waktu sudah menunjukan pukul enam malam. Betapa nyaris tak percayanya aku, begitu melihat jam dinding, jarum pendek tepat menunjuk ke angka 6. Tidak biasanya aku tertidur sampai molor seperti ini. Biasanya aku hanya butuh dua jam untuk tidur siang.

Aku bangun dari tempat tidur. Kembali ke atas kursi roda dengan hati-hati. Astaga, aku masih tak percaya akan hal ini. Apa ini gara-gara aku yang terus kepikiran soal pria yang ada di sekolah tadi? Makanya aku sampai kecapekan.

"Karina..." Suara Papa memenuhi indra pendengaranku. Aku menoleh ke arah pintu dan menghampiri pintu yang tidak kukunci itu.

"Udah bangun?" tanya Papa begitu melihat sosokku sudah berada di ambang pintu.

"Barusan," jawabku sambil menyengir, "Baru pertama kali Karina tidur siang sampai lamanya begini. Papa pasti nungguin Karina, ya, buat makan malam? Maaf ya, Pa."

Papa mengacak rambutku dengan senyum, "Enggak papa. Papa nggak kenapa-napa kalau harus nunggu kamu. Mending sekarang kamu mandi dulu dan segera ke ruang makan, oke?"

Aku mengangguk riang, "Oke!"

"Ya udah. Ini Papa tutup, ya? Papa tunggu di ruang makan."

"Sip!" Aku mengacungkan dua jempolku. Kini, aku kembali masuk ke dalam kamar. Segera aku mengambil beberapa pakaian yang ada di lemari serta handuk dan bergegas untuk mandi.

Beberapa menit setelah aku membasuh badanku sendiri, aku keluar dari dalam kamar mandi dengan keadaan yang sudah rapi. Bedanya, hanya rambutku yang masih berantakan karena basah akibat keramas.

Karena tidak ingin mengecewakan Papa, aku segera menyisir rambutku agar rapi dan bergegas keluar meninggalkan kamar untuk makan malam bersama Papa dan Bi Ijah yang sudah menunggu kehadiranku.

Karena tidak ingin mengecewakan Papa, aku segera menyisir rambutku agar rapi dan bergegas keluar meninggalkan kamar untuk makan malam bersama Papa dan Bi Ijah yang sudah menunggu kehadiranku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf, ya, sebelumnya.

Ini part ter-gakpenting✌✌✌

Jangan lupa comment dan vote, ya, teman-teman sebagai tanda kalian menghargai dan sukak banget sama karya aku, thank you!

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang