[] 13 []

256 24 6
                                    

Memangnya bisa aku menjauhimu sementara kamu selalu hadir sebagai pelita?
-Karina Latisha-

✨✨✨






"Ih, lepasin tangan kamu dari kursi roda aku, Gazlan!" omelku karena kesal terhadapnya. Tujuanku itu ingin ke perpustakaan, bukan ke kantin sekolah seperti sekarang ini. Tetapi, bukannya mendengarkanku dan menghantarkanku balik, Gazlan malah terus mendorong kursi rodaku hingga kami sampai di salah satu meja yang kosong.

"Diem disini. Jangan kemana-mana." katanya sebelum ia beranjak pergi ke stand bakso sapi Pak Bagyo.

Aku diam, memandangi punggung lebar Gazlan yang berjalan membelakangiku. "Dia bener-bener aneh." ucapku pada diriku sendiri.

Namun, bodohnya aku karena tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk kabur. Aku malah diam menunggunya sampai kembali. Sejenak aku mengalihkan pandangan ke sekitar kantin. Seperti dugaanku sebelumnya, aku bersama Gazlan akan menjadi topik perbincangan orang di sekitar kantin.

"Yuk, makan!" ajaknya sembari meletakkan dua mangkuk bakso ke atas meja.

"Ma-makan?" ucapku terbata.

"Iyalah. Makan. Gue dan lo. Kita berdua makan bakso sapi sekarang. Di kantin." sahutnya, "Ayo, dimakan."

Tapi, aku masih bingung disini. Aku sama sekali tidak lapar dan jika lapar pun, aku tidak akan memintanya membelikanku makanan seperti ini. Lalu.. mengapa sekarang jadi seperti ini?

Karena tidak direspon, Gazlan yang sudah memangsa dua bongkahan bakso itu menghentikan aktifitasnya. Ia menatapku bingung lalu berucap,

"Kenapa nggak dimakan? Apa mau disuapin?"

Astaga, semudah itu kata-kata tersebut keluar dari mulutnya. Aku menggeleng cepat, "Nggak. Nggak usah. Iya, aku makan. Makasih udah dibeliin."

Dia pun tersenyum lalu melanjutkan acara makannya, begitu juga denganku yang baru saja memulai. Cukup enak bakso yang dibelikan Gazlan untukku. Bakso Pak Bagyo, namanya. Tekstur baksonya tidak terlalu kenyal dan padat. Aku melirikkan mataku ke depan, dimana Gazlan berada. Entahlah, melihat ekspresinya saat makan membuat jantungku berdentum hebat. Dia tetap kelihatan cool, walaupun bibirnya sedang komat-kamit.

Tanpa sadar, aku menyunggingkan senyum kecil.

"Kenapa senyum-senyum?"

"Eh?" Aku kaget.

"Suka, ya, sama gue?" tebaknya.

Aku menautkan kedua alis bingung, "Tafsiran kamu mengenai aku selalu begitu ya, Lan. Selalu bilang kalau aku suka sama kamu."

Dia terkekeh, "Ya udah kapan-kapan aku ganti. Oke?"

Aku mengangguk saja supaya dia senang. Kembali aku fokus pada makananku. Tidak ingin meladeninya lebih lagi. Jam sudah menunjukan pukul dua siang, dan Papa sama sekali belum menghubungiku. Aku jadi khawatir sendiri dibuatnya.

"Gue beli minum bentar, ya? Dihabisin dulu makanannya." Gazlan bangkit dari kursi dan meninggalkan aku sendirian. Mumpung Gazlan sedang tidak ada, aku merogoh saku kemejaku untuk menelpon Papa. Beberapa menit aku menunggu, tetapi tidak mendapat balasan dari Papa—yang ada malah suara operator yang menyatakan nomor Papa sedang sibuk.

"Jangan-jangan Papa lupa jemput aku, kali, ya?" tanyaku gusar pada diriku sendiri.

Aku melamun, tapi Gazlan sudah keburu datang. Ia kembali duduk dan meletakkan segelas teh hangat manis di atas meja. "Kenapa?" tanyanya yang menyadari perubahan air mukaku.

Aku menggeleng, "Nggak apa-apa. Oh, ya. Makasih udah dibeliin makanan sama minuman. Totalnya semua berapa? Biar aku ganti." Aku sudah menggerakan tanganku sampai ke depan saku, tetapi tangan Gazlan menghalanginya.

"Gak usah. Haram cewek bayarin cowok." ucapnya.

Lantas, aku mengundurkan tanganku. "Makasih sekali lagi."

"Iya, sama-sama."

Aku meraih gelas teh hangatku dan meminumnya perlahan. Setelah selesai minum, barulah aku mendengar suara Gazlan lagi. "Pulang jam berapa?"

"Nggak tahu. Papa belum hubungin aku."

"Gue anter aja kalau gitu, daripada kelamaan."

"Ha? Nggak usah. Aku nggak mau merepotkan kamu."

"Nggak merepotkan, kok. Mau ya? Sekalian pengen tahu rumah lo dimana. Jadi, kapan-kapan bisa main kesana." katanya yang kuketahui dengan jelas bahwa ada nada semangat di dalam sana. "Gimana? Boleh ya?"

Aku mengulum bibir bawahku, bimbang harus menjawab apa. Mengangguk mengiakan? Atau malah menggeleng dan tetap menunggu Papa sampai nanti? Tetapi sepertinya Gazlan memang ingin berteman denganku. Apa salahnya menolak? Lagipula kalau aku menolak bukannya aku sama saja menutup lingkup pergaulanku sendiri? Padahal jelas-jelas aku meminta Papa untuk menyekolahkanku di sekolah swasta.

"Gimana? Boleh, kan? Sekali aja, kok. Sekali ini aja izinin gue tahu lebih tentang lo."

"Ya udah, nggak apa-apa." jawabku pada akhirnya. Jawabku yang sejujurnya tanpa kusadari telah melanggar janji terhadap diriku sendiri untuk menjauhkan diri dari Gazlan.

 Jawabku yang sejujurnya tanpa kusadari telah melanggar janji terhadap diriku sendiri untuk menjauhkan diri dari Gazlan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yeay, Bab 13 udah selesai!!!

Btw, aku mau bilang kalau besok aku udah tryout 1, doain ya temen2 biar sukses, hehe.

Aku nggak mungkin bisa nulis part sebanyak ini tanpa kalian, my lovi readers. Sebab, aku ingat kalau banyak cerita aku yang aku anggurin.

Yaa, thank you buat perhatiannya lah!

Sampai ketemu di part selanjutnya!

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang