[] 24 []

183 20 2
                                    

"Kamu kenapa sih diem aja? Aku tanya nggak jawab. Aku ajak ngomong diem aja. Aku pegang tangannya, menghindar. Kamu kenapa? Marah sama aku? Karina.... Jangan buat aku bingung dong." Gazlan menolehkan wajahnya ke arahku. Sepanjang perjalanan dari rumahnya, aku memang sengaja mendiamkannya. Jujur saja, aku sedikit kesal dengannya. Kalian tahu apa sebabnya? Tentu saja karena dia tidak jujur padaku! Tidak jujur!

Boleh dikata, aku memang percaya padanya. Aku tidak ragu saat dia bilang bahwa dia mencintaiku. Tapi, apa salahnya, sih, bilang jujur? Apa salahnya bilang kalau aku bukan pacar keduanya? Lagipula, aku tidak akan marah padanya. Justru, aku akan salut. Salut karena dia mau bilang yang sesungguhnya. Aku juga bukan penggemar motto; berbohong untuk kebaikan. Kalau memang baik-baik saja dan tidak ada rasa apa-apa, seharusnya nggak perlu bohong, kan?

"Karina..." panggilnya setengah merengek.

"Aku buat salah apa sama kamu?" tanyanya.

Aku diam. Tidak mau menjawabnya. Biarkanlah dia sadar sendiri. Siapa suruh dia berkata bohong padaku?

"Aku gak akan tahu kamu kenapa kalo kamu nggak bilang sama aku."

Masa bodoh.

"Karina," panggilnya. Dan tak kusangka, mobilnya telah ia berhentikan di tepi jalan. Wow, hanya untuk menanyaiku apa yang sebenarnya terjadi, dia rela melakukan hal seperti ini?

"Kok berhenti, sih?" rutukku.

"Kamu jawab dulu pertanyaan aku." Dia mulai serius.

"Pertanyaan yang mana? Yang aku diemin kami gitu aja? Ish. Aku itu cuma males ngomong. Gigi aku sakit. Udah, deh. Ayo jalan."

"Gigi sakit tapi bisa ngomong sepanjang itu, ya. Keren kali pacarku ini." Wajahnya menampilkan raut sarkastik—yang jujur saja membuatku jadi kelimpungan.

"Hey, jangan begitu ya sama aku. Kenapa diam saja? Jawab." Dia mendesakku.

"Aku gak diam. Jelas-jelas aku ngomong." balasku tak mau kalah.

"Ya kalau gitu, jawab pertanyaanku. Kenapa kamu diem aja, seolah kamu lagi bete sama aku."

"Mau tahu jawabannya?"

Dia mengangguk.

"Pikir sendiri!" Aku memalingkan wajah darinya, berbalik menjadi menatap kubangan air sisa hujan kemarin. Berlagak sok badmood padahal aku memang sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Rasakan itu Gazlan! Hahaha!

Tapi, suatu hal tak terduga justru berada di depan mataku. Dia menarik tanganku sehingga aku kembali terhempas ke belakang. Kontan saja mataku bertatapan lagi dengan matanya. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik, tujuh detik, delapan detik, sembilan detik, sepuluh de——

"Lepasin aku," rengekku.

"Nggak akan."

"Gazlan...." rengekku lagi.

"Jawab dulu pertanyaanku. Aku salah apa sama kamu?"

"Ya tapi lepasin tangan aku." eyelku.

"Oke, aku lepas. Tapi jawab." katanya. Kemudian, dia melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Kini, aku bisa bebas bergerak. Kutatap mata hijau-nya sebelum aku mengatakan apa yang sedang kualami.

"Aku kesel sama kamu karena kamu udah bohong sama aku."

"Bohong?" Gazlan terlihat bingung.

"Tuh, kan. Masih pura-pura nggak tau?"

"Emang aku gak tau." katanya.

Jelas aku tidak percaya. "Kamu bilang aku adalah pacar kedua kamu. Tapi Mama kamu bilang kalo aku adalah pacar terbaik kamu. Jadi, selama ini kamu udah pacaran sama berapa cewek, Gazlan? Katanya aku ada setelah Bella. Tapi ternyata kamu pacarannya sama banyak cewek. Kamu bohongin aku!"

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang