[] 35 []

163 15 0
                                    

"Hei." panggilnya.

"Kamu?"

Aku terkejut ketika lelaki itu berdiri di belakangku. Ya. Dia. Lelaki yang membawa wanita mabuk itu sekaligus meninggalkannya sendirian. Dia disini sekarang, di dekatku, di belakang kursi rodaku dan menatapku dengan tatapan yang sangat datar.

Oh, tentu saja aku memajukan kursi rodaku sedikit. Memberi jarak yang memang tak terlalu kentara. Aku juga parno berada di dekatnya.

Rasanya sungguh aneh tiba-tiba dia bisa berada di belakangku. Apa yang ingin dia lakukan? Atau jangan-jangan dia memergokiku mengamatinya bersamanya wanita yang sedang mabuk itu? Maka dari itu ia berniat menghampiriku kembali untuk menyekapku? Oke. Hentikan pikiran konyol itu.

Aku berusaha untuk mengabaikannya. Membiarkannya berdiri disana cukup lama sampai suatu kalimat dengan nada datar terucap dari bibirnya.

"Percuma nunggu suatu hal yang gak pasti."

Mataku kontan saja membuka lebih lebar. Bagaimana tidak? Kata-katanya itu mampu memberikan efek luar biasa dalam diriku. Seolah, kata yang diucapkannya memang adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan diriku saat ini. Atau memang benar? Entahlah, aku tidak tahu.

Aku menoleh, "Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?" tanyaku langsung.

"Lo bisa balik sama gue." katanya.

Aku lantas menautkan kedua alisku, "Pulang sama kamu?"

Dia mengedikkan bahunya.

Aneh. Tadi dia mengatakan bahwa aku bisa pulang bersamanya. Namun ketika aku menanyakan ulang, dia malah mengedikkan bahunya tak acuh. Lalu apa gunanya dia bilang begitu padaku? Pantas Chelsea sering ngomel pada kakaknya ini.

"Kenapa kamu bilang aku bisa pulang sama kamu?" tanyaku lagi.

"Lo lupa kalau rumah kita berseberangan?"

Aku menatapnya jengah. Aku kembali menoleh ke depan dan memundurkan kursi rodaku untuk bisa menghadap padanya sepenuhnya.

"Tapi aku nunggu orang, dan aku akan pulang sama dia. Lagipula, bagaimana sama perempuan yang kamu bopong itu? Kenapa kamu ninggalin dia sendirian?"

"Orang yang lo tunggu gak bakal dateng." katanya santai, "Dan ya, perempuan itu bukan urusan lo. Soal gue mau nemenin dia atau nggak, seharusnya gak akan jadi masalah buat lo."

Memang bukan masalahku. Aku 'kan hanya bertanya. Tapi... bagaimana dia bisa tahu bahwa Gazlan tidak datang? Dia mengenal Gazlan?

"Kenapa kamu bisa tahu kalau orang yang aku tunggu gak akan datang?"

Tapi dia malah meremehkan ucapanku, "Intinya lo bisa balik sama gue. Gue nggak tega lihat lo. Sudah cepetan. Lo mau balik sama gue atau gak? Jam delapan tepat." ucapnya.

Begini. Aku bukannya tidak mau pulang bersamanya. Tapi bagaimana jika Gazlan pada akhirnya datang dan malah kebingungan mencariku? Aku tidak mau membuatnya kebingungan. Sedangkan di satu sisi, jika aku memilih untuk tetap menunggu Gazlan dan tak mengacuhkan keberadaan lelaki jutek ini, ya kalau Gazlan kembali. Kalau tidak?

Astaga, Gazlan. Aku tidak menyangka dia bisa menghilang seperti ini. Apa dia mengerjaiku? Tapi untuk apa? Kenapa bahan bercandanya membuatku sedikit sengsara? Dan rasanya begitu aneh kalau ini rencana jahil Gazlan yang ia rancang untukku. Menurutku waktunya tidak tepat. Sama sekali.

Aku menyayangkan Gazlan yang hilang tanpa kabar sekali pun. Aku kecewa, mungkin. Hah... selalu banyak kemungkinan di dalam hubunganku dengan Gazlan.

Baiklah. Akhirnya setelah menimang-nimang segala keputusan yang ada, aku memutuskan untuk menerima ajakan kakak Chelsea.

Maaf, Gazlan. Entah kenapa pada malam ini aku merasa percaya pada lelaki ini. Entah kenapa pada malam ini rasa percaya ini begitu besar padanya. Padahal aku tak pernah mengenalnya secara dekat. Bahkan nama? Tentu saja aku tak tahu. Maaf sekali lagi.

ELEVARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang