BAB 4 PART IV

1.5K 141 4
                                    

Una masih sibuk dengan kanvas dan kuas ditangannya sedangkan Jackson dan Algi sedang asik memakan nasi padang yang mereka pesan sambil berbincang.

"Mau nggak, Na?" Tawar Jackson, Una menatapnya curiga. Pasti Jack merencanakan sesuatu. Una mencoba acuh namun aroma nasi padang itu sangat menggiurkan.

"Boleh?? Asikk," ucap Una. Ia sudah tak peduli apa yang direncanakan Jackson. Telur dadar yang ada di piring Jackson sangat menggoda.

"Nih," kata Jackson sambil mengaduk nasi padang tersebut dengan tangannya bahkan mengepal-ngepal nasi tersebut.

"Jack!! Jorok, ih." Selera makan Una pun hilang.

Jackson terkekeh dan berkata, "Alah, liat tuh orang India pada sehat makan Indian street food kek gini," responnya sambil terus mengaduk nasi.

Una berdecak, "Nggak peduli. Eh, Gi! Bagi telornya dong," pinta Una kepada Algi yang makannya lebih manusiawi.

"Yeu, ganggu aja lu. Nih," katanya sambil menyodorkan piring dan sendok yang ia gunakan. Una menerimanya.

Jackson mengambil sendok Algi yang dipegang Una, "Pake yang ini."

Jackson memberikan sendok yang masih belum dipakai milik Jackson sedangkan Una hanya menatapnya bingung namun tetap menurut.

"Algi aja nggak geli tuh sendoknya dipake gue. Jadi lu yang ribet," tutur Una lalu memasukkan sesendok nasi dan telur dadar ke mulutnya.

"Takut si Algi rabies kena liur lu," jawab Jackson acuh. Una mengembalikkan piring Algi. Jadi Jack pikir ia seperti anjing yang rabies?

"Perhatian banget. Naksir lu ama Algi?" Ledek Una.

Uhuk

Una menoleh, kali ini Algi yang tersedak. Pria itu segera minum.

"Dih, gay. Dia mah emang gitu, Na. Bawa nama gue buat alesan. Padahal perhatiannya buat orang lain. Ya, kan Jack?" Tutur Algi.

"Ngawur," jawab Jack.

Una yang tak mengerti hanya mengabaikannya mereka dan lanjut melukis. Mulai saat ini, ia akan terus memantau Jack dan Algi. Mereka mencurigakan, jangan-jangan mereka saling menyukai. Habisnya Una pikir Jack sangat perhatian kepada Algi. Ia posesif, tidak membiarkan Una dan Algi satu sendok.

Selang beberapa lama, Una merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Lukisannya telah selesai. Sebuah lukisan bunga yang cantik. Tidak, bukan bunga mawar, anggrek, matahari atau bunga yang semacamnya. Ia menggambar bunga bangkai, bukan tanpa alasan. Baginya seni ada pengungkapan ekspresi. Karena ia sedang kesal ia menganalogikan rasa kesal dan sebalnya itu dengan bunga raflesia.

"Yes, beres." Una mencuci tangannya dan kembali.

"Lu mah gambar bunga yang cakepan dikit kek. Mawar atau edelweis atau apa kek gitu," protes Algi. Una menaikkan alisnya

"Udah nggak bantu protes mulu lagi. Itu sesuai mood ya," jawab Una. Ia pun melirik Jackson yang sejak tadi memegang kuas dan kanvas yang sudah terlukis itu.

"Heh, lu ngapain? Jangan dibikin aneh-aneh," tegur Una.

Jackson menyimpan kanvas itu dan membereskan cat dan kuas yang berserakan, "Nambahin lalet doang."

Una melihat lukisannya yang sudah ditambahkan subjek oleh Jackson. Ia tidak banyak protes karena lukisan Jackson tidak menghilangkan estetika malah menambah lukisan itu menjadi lebih nyata.

"Balik yok, ah."

Una menatap bingung ke arah Jackson. Bisa-bisanya ia pulang dengan kondisi kos Algi yang berantakkan. "Beresin dulu, sih."

Addiction Of Annoyance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang