Una memperhatikan papanya yang berdiri tak jauh dari gazebo. Ia melepas topi putihnya lalu mengelap keringat di dahinya dengan lengan baju, tubuhnya juga sudah terlihat basah.
"Udah dapet berapa puteran, om?" Tutur Aji sambil berjalan menghampiri papa kemudian salim diikuti dengan Elang di belakangnya.
"Baru satu. Kalian gimana?" Balas papa.
"Boro-boro, om. Nunggu openg dulu tuh," jawav Elang.
"Yah, payah. Masa kalah ama bapak-bapak umur empat puluh," ledek Papa.
"Kata Kak Aji, dia mau tes fisik ama papa tuh tadi," celetuk Una dari belakang.
Aji menoleh dan menatap tajam ke arah Una, ia menarik kembali kata-katanya. Bapak-bapak yang satu ini adalah anggota kepolisian, tubuhnya kekar. Sudah pasti ia akan disiksa habis-habisan.
"Becanda, om. Nggak kuat deh saya," tolak Aji. Biar saja ia dianggap lemah daripada ia harus menghabiskan tiga harinya dengan rasa pegal.
"Kak Aji payah," ledek Una.
"Ini satu lagi kemana? Siapa tuh namanya?" Tutur papa sambil mengingat-ingat.
"Rio? Dia lagi futsal, pah. Ada sparring," jawab Noval.
"Gokil jam berapa?" Tanya papa kembali.
"Jam sepuluh, om. Anak-anaknya lagi pada pemanasan dulu, tadi sih lagi pada jogging juga," jelas Elang.
"Oke, nonton ah," balas papa.
Una melotot dan menoleh ke arah papanya, "Jangan, pah!!" Papa menoleh ke arah sang putri dengan bingung. "Papa kan mau jogging ama Una. Ngapain segala nonton?" Tambahnya.
"Ya sekalian aja sih. Daripada langsung pulang kan?" Jawab papa. Una menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, kini ia bingung harus membuat alasan apalagi.
"Cowoknya maen, pah. Jadi gitu tuh," celetuk Noval dengan raut meledek. Una melotot ke arah Noval, mengisyaratkan agar pria itu diam.
"Boong, pah. Una nggak ada cowok. Abang ngaco," Una menarik tangan papanya menjauh dari mereka. Bisa bahaya jika papa dibiarkan bergaul dengan mereka. "Bye, ayo pah," tambah Una.
"Cowok kamu anak futsal?" Tanya papa.
Saat ini papa masih berjalan mengikuti putrinya yang menuntun dirinya entah kemana. Una menoleh ke belakang memastikan situasi sudah aman. Ketiga pria itu terlihat sedang tertawa tidak jelas.
"Abang boong, pah. Orang Una nggak ada cowok," jawab Una sambil melepaskan pegangannya tangannya dari papa.
Papa mengangguk-angguk, "Kalo ada juga nggak apa-apa sih. Mau papa samperin."
Una semakin panik, entah mengapa. Padahal ia tidak perlu sepanik itu karena pada kenyataannya ia tidak punya pacar. Tapi saat ini Una membayangkan bagaimana jika papa benar-benar menghampiri Jackson. Di tengah paniknya itu Una tertawa kecil, ia membayangkan pasti Jackson akan takut jika bertemu dengan papanya dan dengan begitu Jackson pasti tidak akan mem-bullynya lagi. Ternyata itu bukanlah hal yang buruk. Tapi masalahnya.... Jack dan Una memang tidak ada hubungan apapun selain teman sekelas.
Una melirik ke samping, namun sosok yang sejak tadi berdiri di sampingnya itu sudah tak ada. Ia mengedarkan pandangannya dan menemukan sosok yang ia cari sudah berlari lumayan jauh darinya. Una berlari berusaha mengejar papanya.
"Pah, tunggu!!" Teriakan Una membuat beberapa orang melihat bingung ke arahnya. Papa menoleh lalu memperlambat larinya sampai-sampai sekarang mereka berlari beriringan.
"Ayo dong. Masih muda juga," tutur papanya. Una membatin di dalam diri, harusnya papa tagu bahwa anak muda juga bisa lelah. Una menghela napasnya dan melanjutkan larinya.
Una tersenyum senang saat ia akan sampaikan di titik awal ia mulai berlari. Una mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan Noval dan yang lainnya. Curang, mereka tidak jogging. Tahu begitu Una ikut dengan mereka saja.
"Nah udah sampe, yey!" Tutur Una sambil menghentikan larinya.
"Belom sayang. Baru juga satu," jawab sang papa.
Papa menggenggam tangan Una lalu kembali jogging. Tubuh kecil Una terhuyung ke depan, ia menatap papanya pasrah. Untuk sekarang, Una membenci papanya.
Una melanjutkan larinya, kini tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti sang papa. Una menatap lurus ke depan mengabaikan tatapan orang-orang yang melihat ke arahnya. Tentu saja mereka diperhatikan, Papa Una terus saja menyemangati Una dengan tangan yang masih menggenggam erat putrinya. Sekarang mungkin ia dicap seperti seorang gadis SMA simpanan om-om. Tidak mungkin orang melihat mereka sebagai anak dan ayah mengingat wajah mereka yang jauh berbeda.
"Pah, cape," keluh Una.
"Minimal lima puteran. Jangan menye-menye. Jadi cewek harus kuat," balas papanya. Una menghembuskan napasnya sebal, ini baru tiga putaran dan ia harus melakukannya dua lagi.
Una melanjutkan larinya, ia mencoba menarik tangan yang di genggam papa. Namun pria itu malah makin mengeratkan genggamannya.
"Pah, udah ah," pinta Una saat mereka mencapai putaran ke empat.
"Nanggung satu lagi. Ayo, atur napasnya," balas papa.
"Seriously?" Lirih Una lalu menghembuskan napasnya pasrah. Papanya sangat menyebalkan.
Langkah lari Una semakin melambat, bahkan ia tak sempat pemanasan. Semoga saja tidak ada cedera. Papa yang tahu stamina anaknya mulai melemah itu pun ikut melambaikan larinya. Ia menghentikan larinya, Una yang tidak tahu pun menabrak tubuh papanya.
Dengan sigap papanya menahan tubuh mungil Una dengan salah satu tangan merangkul pundak Una. Una ngos-ngosan sambil menyandarkan kepalanya di dada sang papa. Biar saja orang berkata ini dan itu. Yang pasti ia benar-benar lelah.
"Payah, masa cuma sampe empat setengah puteran," ucap sang papa.
Una menegakkan tubuhnya lalu menarik napasnya panjang lalu mengeluarkannya. "Papa ngeselin!"
Papa terkekeh melihat putrinya yang kesal, persis seperti mamanya, menggemaskan. Papa. "Gih, istirahat. Papa mau lanjut," tuturnya.
Una mengangguk, "Thank you, papa," ucapnya lalu minggir dari lintasan lari yang ada di GOR tersebut.
Una mencari tempat yang sejuk dan sepi, ia meluruskan kakinya yang terasa lelah sambil mengibaskan tangannya di depan wajah. Una menyandarkan tubuhnya ke sebuah pohon yang ada di sana sambil terus mendengarkan lagu dari earphone bluetooth miliknya.
"Minumannya, mbak... "
Tbc
Vote n comment guys
KAMU SEDANG MEMBACA
Addiction Of Annoyance
Teen FictionKata orang "Jangan nilai buku dari covernya." Setidaknya Nada Aluna a.k.a Una pernah mengikuti pepatah itu namun rasanya pepatah itu tidak berlaku lagi setelah ia melihat Jack a.k.a Jackson Jeandra. Pepatah itu hanyalah sekedar kata. Wajah Jack sang...