Niat Una untuk bangun siang ternyata gagal total, pagi-pagi sekali mama membangunkan Una untuk pamit bahwa dirinya hari ini akan pergi bersama teman-temannya dan mungkin akan pulang agak telat. Di usianya yang hampir berkepala empat itu, mama tergolong masih bugar dan segar. Terbukti dengan kegiatan yang akan ia ikuti hari ini. Dia menjadi begitu sangat aktif di komunitas senam. Ia menitipkan uang untuk makan dan meminta Una membersihkan rumah.
Una menguncir rambut bondolnya, ia celingukan ke kanan dan kiri, menatap rumahnya yang berantakan..una tersenyum paksa saat melihat tubuh seorang pria terbaring nyenyak di sofa. Pasti abangnya itu keluar kamar untuk sarapan lalu tertidur kembali, pemalas.
Rasa cemburu muncul, kenapa mamanya hanya membangunkan Una dan membiarkan abangnya malas-malasan seperti ini. Apa karena dirinya adalah perempuan? Sudah pasti.
Penampilan Una kini benar-benar seperti emak-emak komplek, ia memakai daster polos selutut, rambutnya di kuncir acak-acakan di tambah senjata andalan ibu rumah tangga lainnya yakni sapu lidi. "Bangun! Mau Un sapu?!" Omelnya seraya memukul kaki Noval dengan sapu lidi. Pria itu membuka matanya sedikit lalu memunggungi Una, "Ribet," jawabnya.
Una memutar bola matanya malas, lalu segera mencari ponselnya. Tak ada cara lain untuk membuatnya semangat selain dengan menyetel musik pagi melalui pengeras suara. Dan dimulailah kegiatannya, ia membersihkan kamarnya terlebih dahulu sebelum pindah ke ruangan lain. Kini dirinya menjadi bersemangat. Bahkan beberapa kali ia bernyanyi dengan sapu yang ia jadikan sebagai microphone. Selesai menyapu lantai, ia beralih mengepel lantai masih dengan suara musik keras.
Abangnya yang semula terlelap di sofa pun mulai terusik, ia mengangkat tubuhnya sambil menatap malas adiknya yang tengah bernyanyi dengan alat pel tersebut, beberapa kali ia bahkan menari. Noval melangkah menuju kamarnya lalu memukul pelan kepala Una perlahan saat melewatinya, "Berisik," cibirnya lalu kembali melangkah menginjak-injak lantai yang harum dan mengkilap tersebut.
Una melotot lalu memukul Noval dengan alat pel yang ia pegang. Bisa-bisanya pria itu menginjak hasil kerja kerasnya. Ubin itu bahkan sangat mengkilap, jauh sekali dengan wajah bangun tidur Una yang kusam. Dan dengan santainya Noval menodai lantai tersebut dengan jejak kakinya yang tidak bagus. "Maen injek aja! Nggak liat lagi di pel?!" Omel Una masih dengan senjatanya memukuli tubuh lemas Noval yang baru terbangun.
"Na! Sakit! Sorry deh sorry!" Balas Noval lalu berlari menuju pintu kamarnya. Ia berbalik lalu mencibir Una dengan wajah mengejek, benar-benar menyebalkan. Una kembali mengambil ancang-ancang menyerang namun Noval kembali berlari sampai-sampai tubuhnya terpeleset dan hampir terjatuh. Una yang melihat itu tentu saja tertawa terbahak, wajah paniknya saat hendak jatuh sangat lucu. Ia terus tertawa sampai perutnya terasa sakit, sedangkan Noval terus mengumpat lalu mengunci kamarnya.
Setelahnya ia kembali mengepel jejak-jejak Noval yang mengotori lantai, ia menatap sekeliling ruangan yang kini menjadi sangat rapi sambil tersenyum puas. Senyum itu berganti menjadi tertekan ketika ia ingat bahwa ini baru lantai dua, masih ada lantai satu yang menunggu untuk dibersihkan. Babak dua operasi bersih pun dimulai dan diakhiri dengan waktu yang singkat. Hal ini karena lantai bawah tidak sekotor dan berantakan seperti lantai atas yang tidak terjamah mamanya.
Berikutnya, gadis yang sudah berkeringat itu beralih ke tanaman-tanaman di halaman rumahnya. Ia memutar keran lalu mengarahkan air yang mengalir melalui selang ke tanaman-tanaman kesayangan papanya. Tanaman di halaman rumah tersebut semakin banyak tiap tahunnya. Papa selalu membawa tanaman baru saat pulang dari dinas. Ia juga selalu mengecek semua tanamannya dan jika ada yang kurang, rusak atau layu maka diinterogasilah seluruh anggota keluarganya satu persatu.
Suara lantunan musik penuh semangat dari dalam rumah menembus hingga keluar. Membuat tubuh dan kepala Una bergerak mengikuti irama musik. Sesekali ia mengarahkan selangnya ke atas membuat seolah hujan turun di sekitar tubuhnya. Layaknya penyanyi papan atas yang sedang konser besar, ya setidaknya itulah yang ada di khayalannya.
Hingga akhirnya fantasi gadis tersebut pecah oleh suara klakson dari depan gerbang. Una mematung, pupil matanya membesar. Kini ia mulai menerka-nerka betapa gembel dirinya. Bagaimana tidak, muka bantal, kaki tanpa alas, rambut semrawut dan daster yang separuh basah.
Mata pria di depan gerbang rumahnya mulai melengkung, kalau saja pria itu tak memakai masker dan helm pasti terlihatlah tawa manis yang mengejek itu. Ia membuka helm dan maskernya lalu merapikan rambutnya ke atas dengan jarinya kemudian berkata, "Nggak mau dibukain apa?"
Kesadaran Una kembali, ia menggigit bibirnya panik. Ia berlari kecil menuju keran dan mematikannya. Ditariknya handuk kecil yang sedang di jemur lalu dipakai di kepalanya menyerupai jilbab dan cadar. Jackson tersenyum menatap tingkah gadis yang kini berjalan ke arahnya dengan mata gelisah.
"Mau ngapain?" Tanyanya seraya membuka gerbang.
"Ngapelin lu lah. Ya kali abang lu," jawab Jackson.
Benar, tapi masalahnya adalah kenapa mendadak sekali... Setidaknya Una bisa bersiap-siap jika Jack mengabarinya.
"Gue udah chatting. Lu nya aja tuh sok sibuk nggak bales chat gue," jelas Jack seolah tahu keresahan Una. "Ini apaan, sih? Kek maling ditutup segala," tambahnya sambil menyingkapkan handuk di kepala Una.
Una tertunduk, "Kalo sekarang kayak gembel," lirihnya membuat tawa Jack pecah. Jackson mengangkat dagu gadis tersebut agar menatapnya, "Tetep cantik," celetuk Jackson yang tentu saja membuat Una tersipu.
"Ya walau emang beneran kayak gembel sih," timpal Jackson. Kini Una tersenyum tertekan setelah diterbangkan lalu dijatuhkan, ia memukul lengan Jackson yang memegang dagunya sampai terhempas.
Una berjalan menuju rumahnya dengan kesal sedangkan Jack terkekeh geli sambil memasukkan sepeda motornya ke dalam. "Na!" Panggilnya. Gadis yang baru saja hendak memasuki pintu itu menoleh dengan sorot mata penuh tanya.
"Belek tuh di kiri."
Dengan panik Una meraba mata kirinya hendak mengambil kotoran mata yang Jackson maksud, Una melirik sinis pria yang kini menahan tawanya. Apa Jackson mengerjainya, sedari tadi ia bahkan tak menemukan benda yang membuatnya malu tersebut.
"Kiri sayang.... " Ucapnya lalu mengarahkan telunjuknya ke pelipis mata kiri Una kemudian disingkirkannya belek yang Jackson maksud. Kini Una semakin malu dibuatnya, selain karena belek. Jarak mereka juga cukup dekat, betapa semerbaknya tubuh Jackson. Sedangkan dirinya, gosok gigi pun belum. Tubuh Una pun tak kalah harum, ya harum sabun lantai.
Una melangkah mundur, apa Jackson tidak merasa jijik dekat-dekat dengan gembel yang belum mandi seperti dirinya? Bahkan pria itu mengambil kotoran di pelipis matanya. "Salting ya?" Godanya membuat handuk di tangan Una melesat menabrak tubuh Jackson.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Addiction Of Annoyance
Ficção AdolescenteKata orang "Jangan nilai buku dari covernya." Setidaknya Nada Aluna a.k.a Una pernah mengikuti pepatah itu namun rasanya pepatah itu tidak berlaku lagi setelah ia melihat Jack a.k.a Jackson Jeandra. Pepatah itu hanyalah sekedar kata. Wajah Jack sang...