Apa yang sebenarnya kita tahu tentang kehilangan?Kalender benda yang selalu ia lihat setiap paginya. Kali ini Evelyn mencoret tanggal dua puluh dua juli dikalender yang terpasang di samping kanan cermin kamarnya itu. Matanya masih memerah akibat begadang semalam namun langkah kakinya tetap berusaha santai sambil mengendong tas sekolah dan menuruni anak tangga. Meja makan yang ada di hadapannya kini sudah dihuni oleh ayah, bunda dan kakaknya.
"Baru dua minggu masuk sekolah udah kesiangan lagi aja"
"Tinggal bangunin apa susahnya, protes aja jadi kakak"
"Engga ada faedahnya juga gue bangunin lo"
"Sampe kapan sih kalian harus ribut gini setiap paginya?" Kali ini ayah angkat suara. Memang seperti ini kelakuan kakak beradik disetiap paginya, jika tidak ribut paginya akan gelap.
"De ayo berangkat, gue udah kesiangan gara-gara lo"
"Kak bentar dulu Evelyn kan belum sarapan" Cegah bunda, sambil memasukan beberapa helai roti tawar kedalam kotak makan.
"Sini bun sarapannya aku bawa ke sekolah aja"
Suara kenalpot kendaraan sudah berlomba meramaikan suasana jalan raya kota Jakarta pagi itu. Cikal yang memang sengaja melaju dengan kecepatan tinggi karena mengejar waktu, dan Evelyn yang mengerti situasi itu sangat berpegangan erat di pinggang kakanya itu.
💨💨💨
Pukul menunjukan jarum pendek di angka enam dan jarum panjang di angka sepuluh, itu artinya Evelyn selamat dari situasi terlambat. Langkah Evelyn tertahan karena ponselnya bergetar, bukan getar karena ada pesan atau telpon masuk tapi karena kalender ponselnya mengisyaratkan sesuatu.
Getaran itu membuat Evelyn merasakan kehampaannya kembali dan saat ini enggan untuk membuka ponselnya, Evelyn mulai menggerakan kakinya melangkah perlahan menyusuri koridor sekolahnya itu.
Pagi ini ia menyapa teman yang berpapasan dengannya dengan mata yang seketika meredupkan cahayanya, padahal kemarin pancaran cahaya mata Evelyn masih normal tidak seredup pagi ini. Dari jauh sahabatnya memanggil namun tak ada reaksi dari Evelyn. Hanya ada dua kemungkinan, pertama memang ia tidak mendengarnya dan yang kedua otaknya sedang dipadati oleh sesuatu. Namun untuk kemungkinan yang pertama rasanya engga mungkin karena di koridor itu saat ini hanya ada mereka berdua ditambah lagi dengan suasana yang sangat sepi. Oke baik, jadi kemungkinan kedualah jawaban yang paling tepat.
Suasana kelas yang baru Evelyn masuki tak berhasil memancingnya untuk tersenyum sedikitpun. Untuk kali ini rasanya hidup segan mati tak mau, seperti tubuhnya di sekolah namun roh dan fikirannya kemana-mana.
"Lyn, lu kenapa sih masih pagi udah bengong aja dari tadi gue di belakang lu manggilin lu tau" kata Sarah, sahabat Evelyn.
"Hari ini pak Rudi dua setengah jam ya? yampun ngantuk deh gue" celah Amel yang salah satu sahabat Evelyn, ia memang sengaja mencelah topik pembicaraan Sarah karena ia tahu betul soal keadaan Evelyn saat ini. Amel dan Evelyn memang berteman sejak Evelyn pindah ke Jakarta, 11 tahun yang lalu.
Sebenarnya, Evelyn masih bisa memilih untuk memikirkan atau melupakan. Toh itu terserah dia. Dia juga bisa memilih untuk tetap senang tanpa adanya sedih dalam hidupnya. Mengapa waktu seakan berhenti berjalan ketika Evelyn ingin melupakannya, seakan hal tersebut terus terbanyang di benaknya, dan mengapa rasanya gelisah ketika dia terus memikirkannya? Sebenarnya apa mau takdirnya, memikirkan atau melupakan. Toh ini bukan kesalahannya, ia ini murni bukan kesalahannya.
Penyesalan yang mengalahkan kenyataan ini membuat air mata Evelyn jatuh setelah ia menarik nafas panjang. Kedua sahabatnya itu memperhatikannya apa yang sebenarnya kita ketahui tentang kehilangan? Mereka selalu menjawab namun menghapusnya lagi.
"Baik, anak-anak hari ini bapak akan bagikan kertas ulangan kalian. Dari kertas itu kalian bisa melakukan presentasi" Ujar Pak Rudi, guru biologi.
"Ohiya sekertarisnya siapa disini?" lanjut pak Rudi.
"Fauziah pak, tapi dia gak masuk lagi sakit" Jawab ketua kelas, Rizky.
"Terus siapa yang biasanya keruang guru?"
"Evelyn aja pak" sahut Amel spontan, dengan tujuan agar sahabatnya ini tidak melamun lagi.
"Oke Evelyn tolong keruang guru, ambil kertas ulangan di meja saya sekarang"
Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Evelyn. Jangankan perkataan, lirikan matanya saja tak bergerak tetap saja memandangi pulpen yang ada di tangannya. Sebenarnya ia tak benar-benar memandangi pulpen itu. Amel yang duduk sebangku dengannya mencoba menyadarkannya dari lamunan.
"Evelyn apa kamu bisa tolong saya?" Ucap pak Rudi sekali lagi. Tangan Evelyn disenggol oleh Amel sampai pulpen yang ia genggam jatuh ke lantai. Barulah Evelyn sadar bahwa pak Rudi sedang berbicara padanya, namun tak tahu topik apa yang sedang dibahas.
"Ehh.. i-iya pak"
"Iya baiklah cepat kamu ambilkan ya, saya mau mempersiapkan presentasinya"
Lagi-lagi Evelyn tak menjawab, ia bengong karna tak tahu harus apa. "Mel gue disuruh ngapain sih?" Ujar Evelyn berbisik.
"Ambil kertas ulangan kita di meja pak Rudi" Jawab Amel berbisik juga.
Langkah kaki Evelyn berjalan menyusuri koridor kelas XII dan kelas X memang untuk ruang kelas XI lumayan jauh dengan ruang guru namun dekat dengan kantin.
Sesampainya di ruang guru, Evelyn lupa meja mana milik pak Rudi namun tak ada satu orangpun yang berada di ruang guru. Evelyn memutari satu-satu meja yang ada di ruangan ini sembari mencari tahu dimana meja milik pak Rudi.
"Ahh harusnya tadi gue sama Amel" Keluh Evelyn yang tak juga menemukan meja pak Rudi. Kali ini Evelyn menemukan meja bernamanya Rudi Setyawan, S.pd, M.pd.
"Mau ngapain lu kesini" Ujar sosok laki-laki berbadan ideal yang berhasil mengagetkan Evelyn.
"Ma..ma..mau ke meja pak Rudi" jawabnya gugup, karna Evelyn tahu dia adalah kakak kelas yang selalu dibicarakan oleh kedua sahabatnya, hanya tahu.
"Pak Rudi yang mana?"
"Pak Rudi guru biologi, emang pak Rudi yang mana lagi"
"Lo salah, itu meja pak Rudi guru sejarah. Di sini pak Rudi ada dua. Lo anak baru? Siapa nama lo?"
"Saya Evelyn"
"Oh, tuh meja pak Rudi biologi disana. Lain kali tanya jangan asal nyelonong" kata cowok itu dengan sikap yang sangat amat dingin.
"Ma..ma...maaf kak"
Mungkin dia memang seperti itu, dingin kepada siapapun, walau ia terkenal di sekolah ini namun Evelyn tidak tahu apapun soal kakak kelas itu kecuali ketampanannya dari kedua sahabatnya itu.
Cowok itu mulai berjalan membelakangi Evelyn, namun tatapan matanya beralih ke listname yang ada di baju Evelyn. "Bimantara? " Batin cowok itu dengan langkah perlahan. Sepertinya cowok itu tak asing dengan nama belakang Evelyn.
Di sudut pintu ruang guru cowok itu terus memperhatikan Evelyn, memperhatikan air wajah Evelyn. Memperhatikan cara ia mengikat rambut. Memperhatikan cara ia merapikan pakaian. Dan memperhatikan cara Evelyn kebingungan mencari kertas biologi kelasnya.
Seperti ada hubungan tak kasat mata diantara mereka, tak bisa terdeteksi sekarang, entah jika nanti. Cowok itu terus memperhatikan Evelyn.
▪️▪️▪️
Ini cerita baru yang memang sedikit ide dari cerita Kynandra (cerita gue yang tbtb gabisa diterusin).
Alur baru, nama pemeran baru, dan diusahakan sangat rajin update.
Author sengaja engga ngasih siapa cast di cerita ini, karena Author ngebiarin kalian buat berimajinasi tentang sosok tokoh yang ada di cerita ini.
JANGAN LUPA DIPENCET BINTANGNYA!!!!!!
2 Februari 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Every-Always
Teen Fiction[Beberapa chapter - Private] Mendekati ending cerita agak slow update. ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Ucapan Athala menggantung. Ia memejamkan mata dan menarik nafasnya dalam-dalam. "-saya merasa berubah setelah sa...