17 ...

526 39 6
                                    

Pagi ini, Evelyn bangun dengan kantung mata yang menghitam. Semalam ia sudah susah payah untuk tidur namun nihil. Kedua sahabatnya memang jadi nginap dirumah Evelyn, namun setelah membuat Evelyn sedikit lebih tenang mereka berdua tidur pulas. Sedangkan Evelyn jam 3 pagi baru bisa tidur, itupun engga nyenyak.

Lagi dan lagi setiap tanggal duapuluh dua Evelyn selalu melihat tanggal dan mencoret angka tersebut dengan tinta merah. Matanya masih terlihat lesu, gerakan tubuhnya pun melambat. Tak ada semangat-semangatnya.

Kedua sahabatnya kini telah siap untuk sarapan seperti yang diperintah bunda 10 menit yang lalu. Semalam pak Iwan, supir Amel mengantarkan seragam dan tas sekolah milik Amel dan Sarah ke rumah Evelyn. Tentunya pak Iwan kerumah Sarah dulu baru kerumah Evelyn.

"Udah siap?" ucap Amel. Sebenarnya Amel bukan hanya nanya siap untuk berangkat sekolah tapi siap untuk hari ini.

Evelyn mengangguk.

"Tenang, ada kita" ucap Sarah sambil merangkul Evelyn.

"Gue engga akan dateng kok"

"Lyn, lo serius?" – Amel.

Lagi-lagi Evelyn hanya mengangguk. Walau ragu.

Kedua sahabatnya saling bertatapan, seakan mereka sedang saling bicara.

Sarah, Amel dan Evelyn turun untuk sarapan setelah bunda teriak untuk yang kesekian kalinya. Bunda sudah tahu apa yang terjadi kepada anaknya, semalam Amel dan Sarah cerita sedetail-detailnya ketika Evelyn sedang mandi. Bunda tidak melakukan apapun seperti biasa, biasanya ketika ada orang yang jahat kepada Evelyn ia selalu melindungi Evelyn apapun itu. Kali ini bunda percaya kepada Sarah dan Amel.

"Berangkatnya bareng pak Amad ya mel,sar" ucap bunda sambil menuangkan susu kedalam gelas Sarah dan Amel secara bergantian.

"Ade nanti pulangnya mau bunda jemput?"

Lagi, lagi dan lagi Evelyn tidak mengeluarkan kata. Ia hanya duduk sambil menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan bunda.

Bundanya memberi kode kepada kedua sahabat Evelyn agar cepat berangkat, takut terlambat. Bunda terus memperhatikan putrinya itu, memperhatikan cara putrinya makan dengan lemasnya. Ia ingin ikut campur dalam urusannya dan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi, tapi bunda tahu betul bahwa putrinya ini sudah besar dikelilingi oleh kedua sahabatnya yang sangat baik dan kakak-kakaknya yang berjanji untuk menjaga Evelyn.

💨💨💨

Dari mulai pelajaran pertama hingga pelajaran kedua, Evelyn hanya melamun dan melamun. Kalau bergerak paling cuma ngedip atau menghela nafas panjang. Amel dan Sarah membiarkan ia seperti itu selagi guru yang mengajar tidak mempermasalahkannya. Ya untungnya guru yang mengajar hari ini tidak terlalu rewel.

Sampai bel istirahatpun, Evelyn tidak minat untuk meninggalkan kelasnya. Sarah dan Amel tak punya jurus untuk membujuk Evelyn pergi kekantin, mereka tau beban yang ia rasakan sekarang.

Sebenarnya bukan beban untuk dirinya karena ulahnya.

Evelyn bisa memilih untuk peduli atau tidak soal surat yang beberapa kali ini hadir dihidupnya, toh Evelyn merasa tidak melakukan apapun. Namun tetap saja, mau tidak mau pasti terus kepikiran. Apalagi seorang gadis normal seperti Evelyn, kadang sok kuat didepan teman-temannya namun hatinya tetep aja lemah.

"Ka Athala, gue mau ngomong!" semua mata melirik kearahnya.

Saat ini Amel sedang berada persis didepan bajang menatap Athala tajam. Dari 10 menit yang lalu ia berusaha memberanikan diri untuk bertatap muka dengan Athala. Jantungnya berdebar, karena dua alasan. Alasan pertama karena ia ingin menggali pembuktian bahwa yang mengirim surat ini Athala atau bukan, dan alasan kedua karena ketampanan wajah Athala.

"Ikut gue!" ucap Amel sambil menarik tangan Athala.

Soal menarik tangan Athala? Itu hanya spontanitas. Setelah sadar bahwa dirinya berani menarik tangan Athala, jantungnya makin berdebar karena berhasil memegang tangan laki-laki paling mempesona di sekolah ini. Tapi itu ia singkirkan jauh-jauh, saat ini ia fokus pada Evelyn.

Mereka sudah berada di lorong belakang sekolah dekat gudang. Mereka engga Cuma berdua. Vero, Aldo, dan Abel ikut. Entah untuk apa.

"Loh, Kaa..kalian bertiga ngapain ikut?"

Amel gugup. Jelas saja, selain menahan banyak pertanyaan untuk Athala ia juga menahan rasa untuk para cogan yang ada di depannya. Amel dikelilingi meteor garden. Ini kejadian menyenangkan untuk Amel tapi dalam situasi yang bukan untuk bersenang-senang. Amel harus fokus pada Evelyn.

"Gausah gugup gitu kali mentang-mentang dikeliling cogan" ucap Vero.

Degggg

Ia mematung, nafaspun ia tahan. Jelas saja mudah ditebak, ekspresi Amel memang jelas menggambarkan bahwa ia sedang gugup.

Sekali lagi, ia harus fokus ke Evelyn dan Athala.

"Ka Athala, lo yang selama ini ngirim surat buat Evelyn?" tanya Amel dengan tatapan yang ia buat seolah tajam.

"Surat apaan?" – Athala, dingin – seperti biasa.

"Kaya surat teror gitu buat Evelyn! Gue Cuma mau mastiin aja. Kalau emang bener, ada masalah apa sama Evelyn? Kalau bukan gue minta maaf karna nuduh" – Amel, berusaha agar tetap tenang.

"Surat apa sih yang lo omongin?" – Athala.
"Surat yang ada di amplop itu?" lanjutnya.

Aldo, Vero, dan Abel hanya diam memperhatikan Amel dan Athala.

"Selain itu kakak juga masukin box kecil ke tas kita waktu di Dufan kan?"

"Tunggu.. tunggu. Tha kemarin lu ketemu bocah ini engga ngomong sama gue" ucap Vero, heran.

"Gue engga ketemu mereka" ucap Athala.
"Dan gue gatau kalau kalian ke Dufan" – Lanjutnya, tatapannya tidak sedingin biasanya.

"Wah lo ngintilin kita ke dufan ya Mel?" – Vero, menatap mata Amel.

Lagi-lagi Amel dibuat mematung dengan tatapan Vero. Ia ingin berkomentar dan mengutarakan semuanya, tapi nanti aja mel tolong fokus ke Evelyn.

"Tolong ya Vero, gue lagi ngomong sama ka Athala" – Amel, dengan tatapan yang membunuh untuk Vero.

Ia menarik nafas dalam-dalam.

"Ini surat apa? Kakak kan yang ngirim?" lanjutnya menunjukan sepucuk surat.

Semalam, diam-diam Amel mengambil surat yang udah dibuang Evelyn ke tongsampah kamarnya. Tujuannya sih untuk minta penjelasan ke Athala. Jadi untuk bertemu dengan Athala saat ini butuh persiapan dari malam sebelumnya.

Athala meraih surat itu, ia mulai membaca kata demi kata yang ada di dalam surat ini.

Matanya mulai membulat ketika kembali menemukan kata "iknev" sama seperti surat sebelumnya, itu artinya surat ini dikirim oleh orang yang sama. Tangannya mulai mengepal ketika membaca kalimat...

"Ketika kekasihku ini sudah pulang sekolah, temui aku di gedung belakang sport center.

Sendiri saja, karena aku hanya ingin berdua denganmu.

Sampai jumpa.

Iknev"


"Bajingan!" ucap Athala, kesal.

"Lo kenapa Tha?" ucap Abel, sambil memegang bahu Athala.

"Apaan sih isinya?" – Aldo, sambil merebut surat yang dipegang Athala.

Ketiganya sibuk membaca surat itu. Amel hanya memperhatikan Athala yang justru malah mematung. Tatapannya penuh dengan kekesalah, penuh dengan kebencian. Hal ini diluar dugaan Amel.

"Ikut gue sekarang" – Athala, sambil menarik tangan Amel untuk menjauh dari ketiga sahabatnya.

Amel mengikuti perintah Athala kali ini, entah kenapa tiba-tiba ia percaya kepada Athala.


▪️▪️▪️

Vote Komen Vote
And See u On Next Chapter :))))))

Every-AlwaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang