Tok... tok... tok...
"De udah bangun belum? Turun dulu yuk sarapan udah siang nih"
Tidak ada jawaban.
"De sarapan dulu hayuk. Udah siang kamu mau sarapan jam berapa? Tinggal ade loh aja yang belum"
Masih sama, belum ada jawaban.
"Bunda masuk yaa. Kamu udah bangun kan?"
Bunda membuka pintu kamar putrinya itu perlahan. Senyumnya muncul ketika melihat putri kesayangannya masih tertidur di balik selimut, sembari menggelengkan kepalanya pelan. Langkahnya perlahan jalan menuju ranjang cantik yang setiap malam menemani Evelyn tidur.
Ia duduk di pinggir tempat tidur, persis di samping kepala Evelyn. Senyumnya belum memudar, masih bertahan. Ia mengelus-elus lembut ubun-ubun putri kecilnya. Walau bagaimanapun, walau Evelyn sudah beranjak dewasa bunda tetap menganggap Evelyn adalah putri kecilnya.
Air matanya mendadak jatuh tanpa ia sadari, tangannya masih terus sibuk membelai rambut putri cantiknya yang masih terlelap dalam mimpinya. Memori diotaknya seketika berputar kemasa dimana anak-anaknya masih saling melempar bantal sambil loncat-loncatan di atas kasurnya. Memutar ingatan dimana anak-anaknya masih saling menangis ketika kalah jika sedang rebutan sesuatu, dan pastinya bunda pusing banget saat itu.
Sepusing apapun bunda dengan anak-anaknya ini, ia pasti bisa menyelesaikan masalah anaknya, seorang diri dengan bantuan ayah itu dulu. Sekarang? Putra dan putrinya sudah memiliki rekan yang dapat membantunya untuk menyelesaikan masalah selain Ayah dan Bunda. Dan tentu saja, semakin lama bunda semakin mempersiapkan dirinya jika putra dan putrinya menemukan pasangannya masing-masing.
Lagi-lagi air mata bunda menetes tanpa bunda sadari. Yang ia sadar adalah kini putri cantik kesayangannyaa yang dahulu engga mau makan kalau kakaknya belum pulang, sudah semakin dewasa dan mulai merasakan masalahnya sendiri.
"Andai waktu itu kakak kamu engga cegah bunda, pasti bunda udah tuntut dia de"
Evelyn masih tertidur pulas, bundanya sadar akan hal itu. Namun bunda tetap membiarkan dirinya seakan berbicara dengan Evelyn. Sebenarnya saat ini bunda tidak butuh jawaban dari siapapun ia hanya butuh telinga untuk mendengar keluh kesahnya, tentang putri cantiknya yang hampir saja menderita.
Untung saja belum terjadi, mungkin bunda bisa gila jika sudah terlanjur terjadi.
"Andai kakak kamu engga larang bunda ngasih tau ayah, pasti anak itu udah diseret paksa kedepan kamu sama anak buah ayah untuk minta maaf" – bunda, masih dengan lembutnya mengelus kepala Evelyn.
Hati orang tua mana yang tak menderita ketika tahu anak perempuan satu-satunya hampir mengalami pelecehan seperti yang dialami oleh Evelyn beberapa waktu yang lalu.
Sebenernya bunda sudah hampir menelpon pengacara keluarganya untuk melaporkan kasus ini, namun kakak Evelyn melarang dengan alasan tidak mau membuat Evelyn merasa lebih tertekan. Bunda menyetujui hal itu, karna mau bagaimanapun ketika kasus itu sudah masuk jalur hukum pasti Evelyn menerima undangan panggilan untuk diperiksa dan dileparkan pertanyaan yang membuat Evelyn semakin harus mengingat kejadian itu.
Bunda ingin Evelyn melupakan kejadian itu, susah sih pastinya. Tapi harus! Evelyn engga boleh berlarut-larut dalam kenangan suram akan kejadian tersebut. Bunda sendiri sampai jijik jika mengingat setiap kata yang dilontarkan Sarah dan Amel tentang kejadian yang menimpa anaknya itu.
"Kamu beruntung sayang, banyak orang yang ngelindungin kamu" – bunda, tersenyum. Air matanya masih menetes.
"Kamu juga udah mulai move on ya dari Faldy" – bunda, senyumnya tambah melebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Every-Always
Teen Fiction[Beberapa chapter - Private] Mendekati ending cerita agak slow update. ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Ucapan Athala menggantung. Ia memejamkan mata dan menarik nafasnya dalam-dalam. "-saya merasa berubah setelah sa...