41 ...

240 20 1
                                    

Hi terimakasih sudah menunggu, jangan lupa VOTE dulu sebelum baca!!!!!

"Athala akan tetap bersama saya" Evelyn – dengan mantap dan penuh percaya dirinya.

Entah apa yang membuat dirinya sepercaya diri itu. Sebenarnya ia tidak begitu yakin dengan perasaan Athala terhadap dirinya semenjak kejadian malam itu, namun mulutnya dengan enteng berkata seperti itu.

Mendengar itu tatapan mata Zisya semakin tajam, "Ck! segitu percaya dirinya lo!" – batin Zisya, tangannya mengepal otomatis di samping kiri cangkir kopi yang sedari tadi ia minum.

"Tunggu!" – Evelyn, menyipitkan matanya.

"Kenapa anda bisa tahu saya? Sebelumnya kita belum pernah bertatap muka"

Zisya melipat kedua tangannya di dada setelah mendengarkan pertanyaan yang keluar dari mulut Evelyn, terjadi keheningan beberapa detik sebelum Zisya mengeluarkan senyum smirknya dengan jelas. Kemudian ia memajukan posisi duduknya lebih dekat ke arah Evelyn.

"Rumah Athala, lo di rumah Athala kan waktu itu?" – Zisya, tangannya sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.

Evelyn tak bersuara, matanya tetap memperhatikan gerak-gerik Zisya.

"Lo masuk ketika denger suara tangisan gue kan? Dan lo yakin gue bener-bener nangis?"

Segala pertanyaan Zisya itu tidak mendapatkan apapun dari lawan bicaranya itu. Evelyn memang menutup mulutnya rapat-rapat, namun ia mengerutkan keningnya – tanda bahwa ia sedikit tidak mengerti.

Melihat ekspresi yang dikeluarkan oleh Evelyn, Zisya tertawa kecil "Gue sengaja nangis dan berhasil mancing lo buat ngeliat keadaan gue pada saat itu. Dan yang perlu lu pahami, gue tahu muka lo sebelum lo masuk ke rumah Athala" kemudian ia menyeruput kopi miliknya.

"Saya benar-benar tidak mengerti maksud anda"

"Malam itu, malam dimana gue dateng ke rumah Athala dan malam dimana Athala bawa lo kerumahnya. Athala menolak kehadiran gue, dan gue pura-pura nangis. Awalnya gue nangis Cuma mau munculin rasa kasian Athala tapi niat gue berubah ketika gue sadar lo ada di rumah Athala juga pada saat itu. Yaaa, seperti yang lo liat, gue sengaja cium Athala di depan mata lo!" – jelas Zisya, sambil terlus mengeluarkan senyum smirknya.

"Athala nolak semua perlakuan gue ke dia malam itu, dan Athala menentang keinginan gue. Dulu ketika gue nangis dan jatuh di pelukannya, Athala engga pernah tega biarin gue nangis sendirian dan dengan luluhnya ia membalas pelukan gue. Malam itu gue berusaha untuk membuat Athala jatuh di pelukan gue karna gue mau nunjukin ke lo kalau Athala masih cinta sama gue, dan yayaya semudah itu Athala membalas pelukan gue" sambung Zisya.

Kedua bibir Evelyn benar-benar kaku mengedar semua pengakuan Zisya, masih belum begitu mengerti apa yang terjadi antara dirinya dengan Athala, antara Athala dengan Zisya dan tentunya antara dirinya dengan Zisya. Ia berusaha menahan emosinya dan membiarkan Zisya terus bercerita kebenaran.

"Gue dan Athala belum ada kata putus secara resmi, belum ada tanggal yang menentukan hari perpisahan kita. Mungkin Athala kaget dengan kepergian dan juga kehadiran gue yang super mendadak, tapi lama-lama dia akan luluh dan balik sama gue, dan – " Zisya menggantung perkataannya, sesaat ia menyeruput kopi miliknya yang tinggal sedikit.

"— dan semuanya menjadi sulit ketika lo ada di kehidupan Athala di saat gue belum pergi dari kehidupan Athala! Gue – benci – lo – Evelyn, dan gue? Akan tetap memperjuangkan apa yang memang sudah milik gue!" sambung Zisya dengan penuh kebencian.

Air wajah Evelyn berubah menjadi semakin percaya diri. "Ck! Jadi secara tidak langsung anda mengatakan bahwa anda akan memaksa Athala untuk tetap bersama anda walau Athala sudah menolak, bukan begitu?" Tanya Evelyn dengan lantang seakan menantang pembicaraan Zisya — tengan tatapan elangnya.

Every-AlwaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang