34 ...

517 45 13
                                    

Selama perjalanan, Evelyn dan Athala mengunci mulut mereka rapat-rapat. Athala membiarkan perempuan yang ada di sampingnya ini menenangkan diri sembari melirik ke arah Evelyn yang masih sama — dari semenjak ia masuk ke mobil Mazda Athala, Evelyn terus menatap ke arah jendela.

Athala paham walau tatapannya memandang ke arah jendela, namun sebenarnya pikiran perempuan itu masih tersita dengan apa yang ia lihat tadi.

Entah sejak kapan Athala peduli dengan perempuan yang sedang sendu itu. Padahal kalau difikir-fikir mereka belum punya goresan kenangan yang melekat. Mungkin ada yang laki-laki itu sembunyikan, entahlah.

"Masuk dulu yuk kak" ucap Evelyn ketika sudah sampai rumah — dengan tatapan sedikit kosong.

Athala menjawab ajakan perempuan itu hanya dengan anggukan kecil saja. Kemudian ia turun dari mobil dan membuntuti Evelyn hingga masuk kerumahnya dan berakhir duduk di ruang tamu.

"Orang rumah pada kemana?" — Athala, ketika matanya selesai menjelajah sekeliling yang sepertinya sedang tidak ada orang. Kecuali bu Inah yang tadi memberikan minum dan pak Amad yang tadi membukakan gerbang untuk mereka.

"Bunda masih di butik, ayah biasanya pulang pas jam makan malam, kalau ka Cikal sih mungkin masih di kampus" — Evelyn, duduk di samping Athala. "Diminum ya kak, maaf cuma ada jus jeruk aja" — lanjutnya.

Lagi dan lagi entah untuk yang keberapa kalinya Athala hanya menjawab dengan anggukan saja, kemudian matanya tertuju pada figuran yang menampilkan foto Evelyn dan seorang laki-laki yang kalau dikira-kira itu sepantaran dengan Evelyn. "Pasti kamu disayang banget ya di rumah ini? Dan pasti dimanjain banget".

Mendengarkan perkataan Athala, seketika Evelyn menoleh ke arah kirinya - memandang Athala yang masih terpaku menatap foto-foto masa kecil yang tersusun rapi.

"Gara-gara saya anak perempuan satu-satunya?" — Evelyn, yang kemudian ikut memandangi selembar kertas kenangan masa kecilnya. Dan ia bisa merasakan bahwa Athala lagi dan lagi mengangguk.
"Udah sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali yang bilang kayak gitu sama saya, dan kakak orang yang ke seribu".

"Jadi saya orang ke seribu yang duduk disini dan bilang kaya gitu sama kamu?" — Athala, tatapannya berubah arah menjadi menarap Evelyn.

"Eh... bukan... bukan gitu maksud saya" — Evelyn, menjadi gugup dan salah tingkah.

"Terus?" Ucap Athala sembari mencondongkan badannya ke arah Evelyn, sip! Berhasil membuat Evelyn semakin gugup.

"It..ituu hmmm ba..banyak..." — Evelyn, terbata-bata.

"...yang tahu kalau saya anak perempuan satu-satunya, jadi semua temen saya ngomong kaya gitu. Dan engga sampai seribu orang teman saya duduk di tempat yang kalak dudukin sekarang" lanjutnya dengan ucapan yang kembali lancar ketika Athala menyenderkan badannya ke sofa sehingga jarak mereka sudah tidak terlalu dekat.

"Oke saya jadi tahu" ucap Athala sembari melayangkan tatapannya ke arah foto Evelyn dengan tatapan dingin.

"Ehh tahu apa?" Balas perempuan itu dengan sedikit panik ketika melihat tatapan dingin Athala ke arah kenangannya itu.

"Tahu kalau selain kamu dimanja, kamu juga rajin banget ngitungin orang yang ngomong hal yang sama" — Athala, dengan senyum smirknya.

Tatapan mata elang Evelyn muncul lagi ketika melihat senyum Athala itu. "Ih itu kan cuma perumpamaan aja kak" ujar Evelyn — sembari memukul lengan kanan laki-laki itu.

"Eh aw.. aw sakit tau" ucap Athala yang sangat jelas bahwa ia sedang pura-pura sakit — elus-elus tangan kanannya itu dengan air wajah yang seperti menahan sakit.

Every-AlwaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang