32 ...

528 46 0
                                    

Sudah pukul 7 malam, namun seragam sekolahnya masih belum ia lepas. Masih dengan setianya perempuan mungil itu memandangi ponsel yang sedari tadi ia genggam. "Hubungin engga ya?" hanya kalimat itu yang ada di pikirannya, seperti ada rasa takut untuk menghubungin seseorang terlebih dahulu.

Di rumahnya, Evelyn semakin dibuat pusing oleh Bundanya yang terus mendesak agar ia menceritakan kejadian hari ini. Bukan ia tidak mau cerita, tapi ia mengingat perkataan bu Meta pada saat itu.


"Evelyn, saya mohon jangan jadiin kejadian itu sebagai khasus yang menyebabkan orang tua kamu menuntut kesekolah"


Ia mengingat betul bagaimana air wajah bu Meta ketika menyampaikan hal tersebut kepada dirinya, ada rasa lemah yang ia pancarkan melalui nada suara itu. Mungkin sudah banyak kasus yang ia tangani sendirian waktu itu, jadi Evelyn tidak mau membuatnya semakin sulit.

Bagaimana pun bu Meta adalah seorang perempuan, seorang Ibu yang pernah ia dengar bahwa anak perempuan paruh baya itu menyidap penyakit. Mungkin itu point utama yang membuat fikiran bu Meta kusut. Dan Evelyn tidak tega untuk menambahkan point di pikirannya itu.

Tapi bagaimana dengan bunda? Mau tidak mau ia harus menceritakan semua hal yang dialami oleh Evelyn. Dua tahun yang lalu dengan segala kesadarannya bahwa Evelyn berjanji untuk menceritakan setiap hal yang terjadi pada bunda, dan Evelyn tidak mau melanggar janjinya.


Ia menghirup oksigen perlahan kemudian ia hembus kasar.


"Jadi kalau bunda ada di posisi aku, bunda mau ngelakuin apa?"


Ya! Kini Evelyn sedang bersandar di bahu kokoh bidadarinya itu. Ia berhasil meyakinkan bunda bahwa ia bisa mengatasi ini sendiri, jadi bunda tidak perlu repot untuk ikut campur. Cukup mengawasi anaknya dari jauh.

Bunda tersenyum mendengar pertanyaan anak perempuannya itu, Ia menuntun kepala putrinya itu agar berada di paha yang sama kokohnya dengan bahu miliknya untuk anaknya. "Bunda mau bilang makasih sama Athala dan makasih tanpa ucapan juga bunda lakuin" ucap Bunda.

"Caranya?"

"Apapun bunda lakuin untuk tetep bisa sama-sama dengan laki-laki itu"

"Tapi aku takut bun"

"Apa coba yang kamu takutin?"

"Athala – para penggemaranya – dan mantannya – terlebih soal perasaan dia yang sebenarnya bun"

Tangan lembutnya terus mengelus kepala anak perempuannya itu, disetiap sentuhan bundanya perempuan itu selalu merasakan ketulusan yang luar biasa. "Bunda engga tahu gimana anak zaman sekarang menyelesaikan masalah sama pasangannya. Tapi yang bunda tau setiap ada cinta pasti butuh pengorbanan"

"Bunda memang engga ada di sana saat kejadian itu, tapi dari cerita kamu bunda ngerasa kalau Athala sedang berjuang"

"Maksud bunda?" – Evelyn.

"Waktu itu, waktu bunda denger cerita soal kejadian menjijikan itu bunda engga tahu pada siapa hati kamu berpihak, masih ada di mendiang Faldy atau memang sedang menuju pihak lain, Athala contohnya. Mungkin ini terlalu cepat, tapi bunda ini perempuan seorang ibu yang paling mengerti kamu lebih dari diri kamu sendiri. Sekarang bunda yakin kalau hati kamu benar-benar bergerak untuk memihak Athala" oceh bunda, tangannya belum juga lelah membelai rambut anaknya itu. Dan tidak akan pernah lelah.

"Athala berani nampar perempuan itu yang udah nyakitin kamu di depan semua anak-anak demi kamu, Athala genggam tangan kamu waktu kamu di ruang kesiswaaan dan dia terus bela kamu. Apa kamu engga ngerasain kalau dia lagi perjuangin kamu? Mungkin sebagian orang bakalan ngehakimin Athala yang udah kasar sama perempuan tapi kalau dilihat dari segi perjuangan ya sah-sah aja mungkin itu sebagian kecil yang dia lakuin"

Every-AlwaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang