1

3.7K 303 3
                                    

Sharon masih tidak percaya dengan hal-hal yang terjadi selama seminggu belakangan ini padanya. Pertama, orang tuanya mengatakan bahwa mereka bukan keluarga yang normal. Kedua, ia mendapat undangan untuk melanjutkan SMA di sebuah akademi. Ketiga, ia tidak bisa bertemu dengan orang tuanya selama satu semesterㅡdia sudah menangisi hal ini selama beberapa hari. Dan keempat, akademi yang ia masuki bukan sekolah biasa.

Sharon menghela napas panjang seraya menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur kamarnya. Sayangnya kamar ini bukan kamar miliknya yang berada di rumah, yang sudah ia tempati lebih dari separuh hidupnya. Ia sekarang berada di asrama perempuan. Benar, gadis itu sudah berada di sekolah yang menurutnya aneh ini. Bagaimana tidak aneh jika sepanjang jalan menuju asrama yang ia lihat adalah siswa-siswa yang sedang terbang, siswa-siswa yang mengendalikan air, atau siswa-siswa yang sedang pamer api siapa yang lebih besar, bahkan pakaiannya sudah kotor terkena debu lantaran di lapangan tadi ada tiga orang yang sedang adu siapa yang mampu memecahkan batu yang lebih besar.

Sharon memejamkan matanya. Ia sudah merasa lelah di saat ia baru tiba di sekolah ini. Nama sekolah ini adalah Ad Infitum Academy. Nama yang unik, bahkan Sharon tidak tahu artinya. Sesungguhnya sekolah ini bagus, halamannya luas, gedungnya besar-besar, dan asramanya pun bagus. Sharon sempat membaca sekolah ini dulunya tidak sebagus ini. Dulu bahkan tiga siswa harus berbagi kamar. Namun karena dana dari kerajaan, sekolah ini menjadi lebih besar dan megah. Bicara tentang kamarnya, kamar miliknya di asrama bahkan jauh lebih luas dibanding kamarnya di rumahnya. Bahkan kamarnya di sini memiliki ruang tamu dan dapur. Mungkin hampir menyerupai apartemen mewah di kotanya. Selain itu terdapat satu ruangan yang berisi tempat tidur dan lemari pakaian dan satu ruangan lain yang berisi meja belajar serta kursinya dan lemari buku. Jangan lupakan ada kamar mandi juga. Kalau dilihat-lihat, kamarnya di sini mewah juga. Seharusnya Sharon senang tinggal di sini. Hanya saja berpisah dengan kedua orang tuanya jelas membuat Sharon sedih dan tidak bisa menikmati fasilitas yang diberikan.

Tablet miliknya bergetar di atas nakas. Sharon bangkit duduk dan meraih tablet yang merupakan alat komunikasi dalam sekolah. Di dalamnya sudah terdapat jadwal pelajaran, jadwal harian, dan beberapa bahan pelajaran, juga kontak para guru. Tadi Sharon sempat mengutak-atiknya sedikit, namun tak lama ia bosan. Ia merindukan ponsel miliknya yang disimpan sekolah. Sharon menghela napas lagi sebelum fokus pada pemberitahuan di tablet miliknya.

'Selamat siang.
Para siswa baru harap berkumpul di aula jam 3 tepat untuk melakukan tur. Tur akan dipimpin oleh para senior. Tur akan berisi pengenalan lingkungan sekolah, juga penjelasan mengenai sistem sekolah. Tur akan diakhiri pada pukul 7 malam di ruang makan sekolah. Jangan terlambat, dan kenakan seragam lengkap. Sampai jumpa di aula.'

Sharon menyimpan tablet di atas nakas lalu ia bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju lemari dan terlihat beberapa seragam di sana. Lemarinya hampir penuh dengan seragam. Sekolah ini cukup ketat dengan urusan seragam. Setiap musimnya memiliki seragam yang berbeda, dan setiap seragam dikenakan di saat yang berbeda-beda. Tadi Sharon sempat membaca bahwa ada seragam yang dikenakan saat belajar, seragam untuk hari Sabtu dan Minggu, juga seragam untuk makan malam. Dijelaskan juga bahwa makan malam adalah acara berkumpulnya para siswa, guru, dan staf, jadi para siswa harus memakai seragam dengan rapi.

Sharon mengambil seragam musim dingin karena sekarang masih bulan Januari. Seragam lengkap berarti seragam saat belajar. Warna sekolah ini tampaknya adalah warna biru tua, karena dasi dan roknya bermotif kotak-kotak berwarna biru tua dan hitam, blazernya yang berwarna biru tua, dan kemejanya berwarna putih. Pada blazer, mantel, sweater, dan rompi terdapat logo sekolah di dada kiri. Logo sekolah ini berbentuk pohon yang dikelilingi duabelas simbol. Sharon belum mengerti apa makna logo sekolahnya. Saat ini ia lebih fokus pada rasa sia-sia karena membawa banyak pakaian dari rumah. Tampaknya pakaian bebas hanya digunakan untuk tidur karena tidak terlihat adanya baju tidur di lemari. Namun Sharon tidak keberatan memakai seragam setiap saat. Seragamnya bagus, Sharon suka.
Sharon keluar dari kamarnya untuk ke kamar mandi. Sebenarnya Sharon baru mandi sebelum berangkat ke sekolah, tapi ia rasa ia harus mandi lagi karena ia harus memberikan kesan yang baik untuk teman-teman barunya dan guru-guru yang akan mengajarnya. Sharon akan menjadi anak baik meski ia kebingungan dengan seluruh hal tentang sekolah ini.

Butuh waktu 20 menit buat Sharon bersiap-siap. Ia sudah terlihat rapi dan segar. Seluruh atribut seragam telah ia kenakan. Kemudian Sharon mengikat rambut hitamnya tinggi. Ia memandang pantulan dirinya di cermin, memastikan bahwa dirinya sudah rapi.

Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Sharon mengalihkan perhatiannya ke sana. Gadis itu berjalan cepat ke pintu lalu membukanya. Seorang gadis berdiri di depan pintunya. Gadis itu mengenakan seragam yang sama dengannya. Sharon menatap wajah gadis itu. Ia cantik dan anggun. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai di punggungnya. Gadis itu juga lebih tinggi dari Sharon. Sharon sedikit tertarik dengan warna matanya yang berwarna hijau. Bahkan Sharon yang juga seorang perempuan mengakui bahwa gadis itu cantik.

"Hai," sapa gadis itu.

"Oh, hai. Mau masuk?" tawar Sharon.

Gadis itu menganggukkan kepalanya lalu berjalan masuk mengikuti Sharon. Mereka duduk di ruang tamu, berhadapan. Jujur, suasana sekarang terasa canggung untuk Sharon. Ia bertanya-tanya apakah gadis itu juga seaneh siswa-siswa yang ia jumpai. Namun rasanya tanpa mendengar jawaban gadis itu, Sharon yakin ia juga aneh. Seperti dirinya.

"Apakah kau siswa baru juga?" tanya Sharon membuka percakapan.

Gadis itu mengangguk. "Iya. Aku Elisa. Maaf tiba-tiba datang. Kamarku ada di depan kamarmu ngomong-ngomong."

"Oh, hai Elisa. Aku Sharon. Tidak apa-apa, aku juga butuh teman untuk pergi ke aula. Kau teman pertamaku. Jadi, terima kasih karena sudah mengetuk pintu. Sejujurnya aku hampir gila sendirian di sini," oceh Sharon.

Elisa tersenyum tipis. "Hampir gila kenapa?"

"Begini, aku baru tahu bahwa aku bukanlah orang normal sekitar sebulan yang lalu. Kemudian, aku harus bersekolah di sini. Padahal aku tidak keberatan kalau harus menjalani hidup seperti tidak ada apa-apa, karena aku sudah menjalaninya selama belasan tahun! Dan di sini, semuanya aneh. Bagaimana bisa ada orang yang berkeliaran dengan terbang? Bagaimana mungkin ada seseorang yang saling membandingkan kekuatan mereka? Untuk apa, coba?" cerita Sharon berapi-api.

Lagi-lagi Elisa tersenyum. "Kau akan terbiasa. Setahuku di sini memang terdapat persaingan yang cukup ketat. Semua siswa saling ingin melampaui untuk menjadi yang terbaik. Karena yang terbaik akan direkrut oleh kerajaan. Kau mungkin belum mengerti, tapi menjadi pasukan khusus kerajaan adalah posisi yang luar biasa. Tentunya tidak akan menyaingi putra-putri kerajaan. Setidaknya mereka dipandang lebih tinggi."

"Oh. Kau tahu banyak ya?"

"Begitulah. Aku sudah sadar dengan kekuatanku sejak aku lahir aku rasa."

"Wah, kau beruntung sekali. Setidaknya kau tidak kebingungan saat bersekolah di sini. Segalanya terasa baru untukku," ucap Sharon sebal.

"Kau akan terbiasa, kok. Ngomong-ngomong bagaimana jika kita ke aula? Aku rasa sebentar lagi tur dimulai."

Sharon melirik jam di dindingnya. Terlihat jam sudah hampir menuju angka tiga. "Kau benar! Tunggu sebentar, aku akan mengambil ponselku di kamar."

Selain tablet para siswa juga diberikan ponsel karena lebih gampang dibawa. Ponsel tersebut isinya kurang lebih sama dengan tablet yang diberikan. Namun untuk kegiatan belajar mengajar, diutamakan untuk menggunakan tablet. Dan ponsel lebih berguna untuk berkomunikasi antar siswa atau siswa dengan orang tua. Sayangnya jam menelepon orang tua tidak bisa dilakukan semaunya, ada jadwal tertentu. Saat di luar jadwal, panggilan keluar dari area akademi tidak akan tersambung.

"Elisa, ayo!" ajak Sharon sambil tersenyum lebar sekembalinya ia dari kamar dengan jas sekolahnya telah berisi ponselnya.

Elisa berdiri lalu mengikuti Sharon. Sharon sukses dibuat iri oleh keanggunan Elisa. Bahkan hanya berjalan saja, Elisa memiliki auranya tersendiri. Terasa mengintimidasi, sehingga Sharon perlahan berjalan melambat sehingga ia berada di belakang Elisa. Sharon sadar bahwa ia tidak akan sebanding dengan Elisa dan tidak pantas baginya untuk berjalan bersisian dengan Elisa.
Elisa tampaknya menyadari hal itu. Ia menggandeng Sharon, masih dengan senyuman hangat di wajahnya. "Jangan berjalan di belakangku. Kau kan temanku. Teman harus berjalan berdampingan."

"A-ah, baiklah," ucap Sharon kikuk dan ia berusaha menyamakan langkahnya dengan Elisa.

"Lihat, itu Tuan Puteri Elisa! Kita harus memberi salam," Sharon mendengar ucapan-ucapan itu di sepanjang jalan.

Langkah kedua gadis itu terhenti karena beberapa siswa menghalangi mereka. Siswa-siswa tersebut membungkuk dan menyapa Elisa dengan sopan. Mereka bahkan memanggil Elisa dengan sebutan Tuan Puteri.

Sebentar. Apakah dari tadi Sharon berjalan bersama seorang puteri kerajaan dan Sharon tidak menyadarinya?

BLACK ON BLACK [NCT - UNB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang