38

598 99 0
                                    

"Sharon, kau mendapatkan undangan ini."

"Undangan? Dari siapa, Kak?" tanya Sharon sambil menutup bukunya dan menerima undangan yang diberikan Chan.

"Dari Tuan Puteri Elisa. Sebenarnya beliau sudah menitipkan dari kemarin saat berkunjung, namun beliau memintaku untuk memberikannya hari ini."

"Kak, aku tidak salah baca? Elisa akan menikah?"

Chan duduk di sebelah Sharon di sofa ruang baca. "Benar, beliau akan menikah, kau tidak salah baca Sharon. Sebenarnya Tuan Puteri Elisa sudah mengatakan hal ini duluan padaku saat berkunjung kemarin. Tunangannya menjemputnya waktu itu."

"Kak Doyoung?"

"Benar, kemarin Pangeran Doyoung menjemput Tuan Puteri Elisa. Dan aku dikenalkan pada Pangeran Doyoung dan beliau sangat ramah. Mereka juga mengatakan padaku bahwa mereka telah bertunangan dan akan menikah beberapa minggu lagi."

"Mereka memang sudah berkencan sejak sekolah, tapi bukannya ini terlalu cepat?" tanya Sharon tidak percaya.

Chan mengusap kepala Sharon. "Sudah lima tahun sejak Tuan Puteri Elisa lulus akademi, bukan terlalu cepat juga, Sharon."

"Ini tetap mengejutkan. Mungkin karena aku diperlakukan seperti anak kecil, tanpa terasa teman-teman seumurku sudah menikah," keluh Sharon. "Seharusnya Kakak dan kakak-kakak yang lain memperlakukan seperti seorang perempuan dewasa."

"Jangan. Gawat."

"Apanya gawat?" tanya Sharon tidak mengerti.

"Kalau bukan aku anggap sebagai adik, hatiku akan meminta lebih, Sharon."

Sharon terdiam sebentar sementara Chan menutup mulutnya. Dalam hati Chan memarahi dirinya sendiri karena sudah seenaknya bicara.

"Kak, ini juga waktu yang tepat bagimu mencari pendamping," ucap Sharon hati-hati.

"Aku ditolak ya?" tanya Chan, namun ia berusaha tetap tersenyum.

"Tidak, Kak, maksudku bukan begitu," Sharon meraih tangan Chan kemudian digenggam erat langsung oleh Chan. "Hanya saja aku juga belum memikirkan untuk menikah, aku tidak mau Kakak menunggu."

"Sharon, kau tahu aku sudah menunggu berapa lama?"

Sharon tersenyum tipis, merasa bersalah. "Apakah aku pantas membuatmu menunggu lagi? Bagaimana jika ujungnya bukan Kakak? Aku tahu Kakak sudah menunggu 10 tahun untukku kembali, aku juga tahu Kakak sudah menunggu hampir delapan tahun setelah aku kembali. Aku tahu Kakak telah menyukaiku dari aku hanya seorang gadis belasan tahun, sampai sekarang. Aku tahu saat masa kecil aku berjanji untuk menikah denganmu, tapi aku harap Kakak tidak menganggap itu serius. Aku hanya ingin Kakak bahagia."

"Sharon," Chan menangkup pipi Sharon. Matanya bertatapan dengan mata milik Sharon. Iris Sharon yang berwarna hitam pekat seolah menyedot Chan, seolah tidak memberikan jalan keluar bagi Chan. "Kau harus ingat, bukan kebahagiaanku yang penting bagiku. Tapi kebahagiaanmu. Aku akan tetap bahagia kalaupun kau tidak berakhir bersamaku, tapi aku akan sangat bahagia jika kau bisa bersamaku. Jangan merasa terbebani. Menjadi sosok kakak bagimu juga sudah lebih cukup. Menjadi seseorang tempatmu bersandar selain kepada kakak kandungmu juga sudah cukup. Aku bisa minta apalagi?"

Sharon balas menatap mata Chan. Sharon selalu kagum dengan sinar ramah dan hangat dari tatapan Chan, hal ini yang membuatnya nyaman. "Aku minta maaf selama ini aku hanya fokus latihan dan belajar. Aku hanya membuatmu menunggu lebih lama. Aku juga tidak bisa menolakmu terang-terangan, aku tidak mau Kakak pergi."

"Ayolah, rasanya hubungan kita tidak sedangkal itu. Bukannya aku satu-satunya lelaki yang bisa kau mintai tolong membukakan gaun? Lihat, tidak ada yang berubah dari kita."

BLACK ON BLACK [NCT - UNB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang