21

743 130 1
                                    

Usai sarapan Hansol menemani Sharon keliling istana. Hansol mencoba kembali akrab dengan Sharon, seperti bagaimana mereka saat kecil dulu. Setiap melewati satu ruangan Hansol akan menjelaskan apa yang pernah terjadi di ruangan itu.

"Ini ruang bermain kita saat kecil dulu. Aku tidak membongkar ruangan ini dan membiarkan semuanya apa adanya. Mainan kita masih ada, bahkan foto kita juga ada."

Hansol meraih album foto dan membukanya. Hansol mengajak Sharon untuk duduk dan Hansol membuka album foto tersebut.

"Ini foto kita berempat, di tahun yang sama saat penyerangan terjadi. Lihat, pipimu sangat tembam saat kecil," Hansol membalikkan halaman album fotonya lagi. Terdapat foto seorang pria dengan seorang anak perempuan. "Ini adalah fotomu dan ayah. Ayah paling menyayangimu. Kau adalah kesayangan ayah. Ayah bahkan rela mengorbankan nyawanya untukmu. Tapi aku tidak membencimu, aku juga akan melakukan hal yang sama. Sayangnya aku terlalu kecil saat itu. Tapi sekarang aku sudah dewasa dan aku bisa mengalahkan mereka."

Sharon menyandarkan kepalanya di bahu Hansol. "Haruskah Kakak menyerang mereka? Setidaknya aku kan sudah kembali di sini."

"Tidakkah kau merasa sakit hati? Mereka sudah membunuh ayah kita."

"Tapi ayah juga membunuh orangtua mereka. Kita sama-sama kehilangan."

"Setidaknya mereka masih punya keluarga baru. Aku tidak punya siapa-siapa saat itu. Aku ingin mereka merasakan hal yang sama."

"Apa untungnya, Kak?" tanya Sharon. Ia menatap Hansol lurus, menuntut jawaban.

"Supaya aku bisa bahagia."

"Kakak yakin akan bahagia setelah balas dendam? Mereka juga akan balas dendam pada Kakak. Mungkin kita berdua bisa jadi korban. Kenapa tidak berdamai saja? Perang tidak menguntungkan sama sekali untuk kita."

Hansol hanya diam. Sharon mengatakan hal yang benar. Namun hal itu belum cukup untuk menggoyahkan pertahanannya. Keputusan Hansol tetap sama.

Hansol menutup album foto dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Ia berdiri. "Ayo kita lanjutkan."

Sharon mau tidak mau mengikuti Hansol. Sharon sadar bahwa Hansol tidak mendengarkannya sama sekali. Sharon sadar percuma bicara dengan Hansol. Tapi Sharon memang tidak ingin Hansol menyerang teman-temannya. Setidaknya hanya ini yang bisa ia lakukan untuk melindungi mereka.

"Ini adalah ruang rapat," Hansol membuka pintu sebuah ruangan dan di dalamnya terlihat megah. Berbagai peralatan pendukung ada di sana. "Saat kecil dulu, setiap rapat kau selalu menyelinap ke sini. Kau selalu tampak ingin tahu. Mau tidak mau ayah menggendongmu sambil menjelaskan strateginya. Kau sangat manja pada ayah. Syukurlah mereka menghapus ingatanmu, setidaknya kau tidak akan sesedih aku."

Memang benar, sebanyak apapun Hansol cerita, Sharon sama sekali tidak mengingat apapun. Tapi setidaknya Hansol tetap berusaha mengingatkan Sharon pada hal-hal yang pernah mereka alami. Walaupun Sharon masih tidak terima cara Hansol membawanya pulang, Sharon cukup lega kakaknya sangat perhatian padanya, bahkan sampai menuruti keinginan Sharon tadi pagi walaupun itu permintaan sepele.

Sharon dan Hansol kembali berjalan berkeliling. Mereka sampai di dapur. "Sebelum jadwal makan kau pasti akan selalu menyelinap ke sini. Meminta makanan pada para koki. Saat kecil kau makannya sangat banyak. Sekarang kau sudah tumbuh dengan sangat baik. Setidaknya aku senang."

"Mereka sudah merawatku, tidakkah balas dendam terlalu jahat, Kak?" Sharon mencoba membahas hal tadi lagi.

Hansol hanya diam dan membawa Sharon keluar dari dapur. Ia membawa Sharon ke lapangan tempat latihan. Di sana ramai, ada yang berlatih senjata, bela diri, bahkan kekuatan super. Sharon juga melihat para lelaki tadi sedang latihan.

BLACK ON BLACK [NCT - UNB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang