3.Satu-satunya harapan

11.8K 1.2K 28
                                    


Pagi ini aku tengah menikmati sarapan dengan kedua orang tuaku. Ku berniat membicarakan lagi soal perjodohan dengan Jeon Jungkook.

"Sudahlah terima saja Lalice, Jungkook itu pilihan terbaik. Appa sudah mengenalnya lebih dulu, dia pemuda yang baik dan pekerja keras sangat ideal untuk dijadikan suami" kataku appa ku saat kukatakan aku keberatan dengan perjodohan ini.

"Bukannya kau bilang kau mau mengenal dia lebih dulu, sekarang ini saatnya. Memang apa yang kurang, dia tampan, baik serta mapan. Kau pikir mudah mendapatkan orang yang seperti itu sebagai pendamping hidupmu" eomma ikut menimpali dengan intonasi bicara yang terkesan tidak santai.

"Aku menyukai orang lain" ucapku sedikit ragu, seketika kedua orang tuaku menatap padaku.

Tatapan heran dari ayahku dan tatapan jengah dari ibuku.

"Ten maksudmu?" Tanya ibuku tanpa basa-basi, sedangkan aku mengangguk pelan.

"Sudah berapa kali ibu katakan Ten bukan pemuda yang cocok untuk mu Lisa, dia itu..."

"Eomma" kusela ucapan ibuku " Dia tidak seburuk yang eomma kira" belaku pada Ten.

Aku tidak terima jika ibuku terus berpikir buruk tentangnya.

"Lisa kau ini belum mengerti juga ya" nada suara ibuku semakin tinggi.

"Eomma! eomma tidak bisa menyamakan orang lain seperti itu. Ten dan kakaknya bukan orang yang sama"

"Tapi dalam tubuh mereka mengalir darah dan DNA yang sama Lalice Choi"

Aku membuka mulut bersiap menjawab tapi ayahku lebih dulu menengahi kami.

"Sudah cukup" suara ayahku sangat berwibawa membuat ku tiba-tiba ciut.

Aku hapal dengan ayahku, kalau sudah bicara dengan nada begini artinya beliau sedang serius.

"Hentikan perdebatan ini. Kau Lisa akan tetap menikah dengan Jungkook karena pemuda itu sudah setuju menikahimu, jadilah gadis yang baik" ucap Appa sambil berdiri dari kursinya

Beliau pergi meninggalkan meja makan, dan aku menatap ayah
dengan mulut terbuka.

"Sebaiknya kau bersikap baik dan tidak membuat masalah" ucap ibuku sambil menyusul ayah.

Sepeninggal kedua orangtuaku aku hanya bisa mendengus.

Kenapa jadi begini, kenapa mereka tidak pernah percaya pada pilihanku. Kenapa juga mereka selalu menyamakan Ten dengan kakaknya.

Dan kenapa mereka selalu menyuruhku menjadi gadis baik, memangnya selama ini aku tidak baik.

Kenapa??

Kuacak rambutku kesal lalu menyuapkan seluruh roti sarapan ku kedalam mulut, sekarang mulutku penuh dengan roti hingga aku kesulitan mengunyahnya.


..........

"Dari gambarmu bisa kutebak perasaan mu sedang kacau" ini Chaeyoung sahabat ku, ia sering datang ke galeriku saat sedang tidak punya pekerjaan.

Sebenarnya dia memang pengangguran, pengangguran yang uangnya banyak.

Impian semua orang bukan?

"Huuuft"

Kurasa dengusanku cukup sebagai jawaban untuknya.

"Jadi bagaimana apa kau akan menikah dengan tuan muda Jeon itu?" tanyanya sambil menarik kursi dan duduk di sebelah ku.

"Kalau tidak ada pilihan lain" jawabku malas.

"Jadi kau punya pilihan lain tidak?"

Kubuang napas kembali lalu menaruh kuas di atas palet setelah mendengar pertanyaan Chaeyoung.

"Harapanku cuma Ten" kataku lesu.

Ada satu hal yang terus mengganjal hatiku.

Meski ku katakan kalau Ten adalah harapan ku tapi aku tak benar-benar yakin akan hal itu.

Pasalnya sudah sejak sebulan lalu ia sulit dihubungi, membalas chat ku lama dan telepon ku juga jarang diangkat.

Sering kali dia mengatakan sedang ada pekerjaan diluar kota.

Awalnya aku yakin dan percaya pada semua ucapannya, lagipula setahuku ia memang sedang bekerja sama dengan brand make up ternama.

Tapi makin kesini aku jadi sering berpikir yang tidak-tidak. Dulu, meskipun sibuk Ten masih bisa menyempatkan diri mengirimi ku pesan.

Tapi sekarang saat kuberi pesan pun memakan waktu lama untuk membalasnya.

Terlebih lagi sejak 5 hari yang lalu aku tidak bisa menghubungi nya sama sekali.

"Apa kau sudah bisa menghubungi Ten?" tanya Chaeyoung membuat perasaanku makin galau.

Aku hanya menggeleng lemah.

"Hmmm" Chaeyoung menggumam tampaknya ia juga bingung harus bagaimana dengan situasi ini.

"Tapi Lalice, bukankah kau bilang Jeon Jungkook itu tampan, masih muda, dan mapan"

"Aku pernah bilang?"

"Kau amnesia?" Ucap Chaeyoung sarkas dengan ekspresi wajahnya yang berlebihan.

"Lalu kenapa?"

"Bukankah itu bagus heum, masuk kategori pria idaman" Chaeyoung menaik turunkan alisnya.

"Kurasa begitu, tapi chaeng-ah.. hatiku bagaimana?" tanyaku memelas.

"Ya..... bagaimana ya, tapi Ten juga menghilang kan, ah bukan maksudku sulit dihubungi"

"Dia bilang dia sibuk"

"Kau yakin"

Aku mengangguk sekali lalu geleng-geleng, sementara Chaeyoung menatapku iba seperti aku adalah manusia paling sial di abad ini.

"Lisa, begini" Chaeyoung mendekat kan kursinya dengan ku seperti tidak ingin menyisakan jarak antara kami.

"Kalau aku jadi kau, aku mungkin menurut saja. Kau bilang Jungkook bersedia menikah dengan mu kan, melihat keadaannya sekarang aku yakin masa depanmu akan aman"

Aku melirik Chaeyoung dengan malas.

"Apa maksudmu Park Chaeyoung, meski tanpa dia masa depanku juga sudah aman"

"Eish aku tau, baiklah begini saja, bukannya lebih baik memilih sesuatu yang pasti di depan kita daripada mengaharapkan sesuatu yang belum nyata"

"Jadi maksudmu Ten tidak nyata?"

"Buktinya?!"

Aku menarik napas dalam lalu menyambar shoulder bag ku.

"Ya Choi Lisa, kemana?"

"Menjemput Ten" kataku cuek sambil meninggalkan Chaeyoung yang teriak-teriak memanggil dari ruang pribadiku.

Sudah kuputuskan akan kutemukan Chittaphon dimanapun ia berada meski di lubang tikus sekalipun akan kuseret dia.

Dengan agak terburu-buru kulangkahkan kaki menuju pintu, tapi seketika langkah ku terhenti saat melihat seseorang sudah berdiri di depan pintu galeri ku.

"Kau!" seruku kaget


To be continued..


Voment voment, tekan ⭐ nya... (☆∀☆)

Jadi pelan-pelan ya, nikah kan butuh persiapan panjang. :D
....

Married [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang