17. Diacuhkan

9.4K 919 117
                                    

Kutendang kerikil kecil di bawah kakiku dengan rasa dongkol. Nyatanya matahari yang bersinar terang dan udara segar taman kota ini tidak mampu mencerahkan hatiku.

Hatiku terasa suram.

Kedengerannya mungkin berlebihan, tapi sejak kejadian kemarin di hutan buatan rasanya aku tak lagi bersemangat bahkan tiap detik kulewati dengan rasa gelisah.

Kulangkahkan kakiku malas menyusuri taman yang kebetulan tidak terlalu ramai pengunjung sambil memutar memori menyesakkan yang baru saja kualami di apartemen Ten.






//

Aku baru saja membuka pintu rumah Ten dan langkah ku langsung terhenti saat kulihat Ten keluar dari kamar sambil menenteng tas kameranya, ia terlihat rapi.

Aku tersenyum seperti biasa, "sudah mau pergi?" tanyaku dengan manis, tapi jawaban yang kudapat tak sesuai harapan hanya sebuah anggukan malas tanpa senyum sedikitpun.

Hatiku mencelos tapi masih mencoba tersenyum. Aku sadar keadaan masih belum sepenuhnya membaik sehingga menggalah sedikit rasanya tak apa.

"Aku membeli padthai, kesukaanmu dari restoran Bambam" ucapku sambil menaruh padthai diatas meja.

"Aku sudah makan" jawab Ten datar.

Senyumku perlahan terkikis, rasanya agak sulit menyembunyikan rasa kecewa saat ini. Tapi aku tetap tidak bisa bersikap egois. Aku masih mengalah dan tersenyum tipis.

"Makan sedikit saja baru pergi" kuhampiri Ten berniat meraih tangannya di genggamanku, tapi dengan gerakan yang natural ia merapikan tas kameranya. Aku tahu itu hanya alasan untuk menghindari sentuhanku.

"Aku benar-benar harus pergi sekarang, kau bisa makan sendiri kan?" ucapnya sambil melangkah ke arah pintu.

"Apa kau masih marah?" tanyaku dengan hati-hati

Ten yang tengah memakai sepatu pun menggeleng, "kenapa aku harus marah, dia kan suamimu"

Tenggorokanku tercekat, dadaku berdenyut. Ingin berteriak dan meminta Ten jangan pergi tapi tidak sanggup. Keinginan hati dan kenyataan yang kuhadapi membuat semuanya sedikit sulit. Aku tidak punya pilihan kecuali membiarkan ia pergi.

//








Kuhela napas panjang. Aku sadar aku memang bersalah disini, dengan teganya berbohong pada Ten. Bahkan aku bisa mengerti kalau dia memang marah karena itu. Aku pantas mendapatkannya.

Tapi yang paling membuatku sesak saat ini adalah sikap Ten yang justru seperti mengacuhkanku. Serius aku lebih memilih dia memaki dan meneriaki ku ketimbang dia bersikap acuh dan dingin seperti ini.

Membuat ku takut dan bingung.

Dadaku terasa sesak.

Kalau boleh jujur bukan itu saja yang membuat ku merasa sangat buruk. Jungkook, pemuda itu bersikap tak jauh beda dengan Ten.

Sejak kembali dari Seoul Forest ia menjadi sangat-sangat irit bicara. Oh malah tidak sama sekali. Jungkook hanya bicara jika kutanya, itupun hanya  "heum - heum - ya -tidak", sungguh menyebalkan.

Padahal jika kupikir-pikir aku tidak membuat kesalahan padanya. Niatku justru baik untuk menebus rasa bersalah padanya. Tapi sekarang semua malah seperti ini, aku tak mengerti.

Kembali kuhela napas lalu berjalan menuju sebuah bangku yang berada beberapa meter di depanku.

Mataku melebar, senyum perlahan muncul di bibirku saat kulihat seekor anjing pomeranian tengah duduk tak jauh dari bangku kayu dan tengah sibuk menjilati kakinya.

Married [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang