Hari ini adalah hari ke dua ke sekolah. Gue naik motor sendirian ke sekolah, iya gue nggak punya SIM (nggak cukup umur). Rumah gue nggak jauh dari sekolah kok, jadi berangkatnya nggak terlalu pagi banget. Lagian jam segini polisi belum jaga. Nakal ya gue? B aja sih.
Sesampainya di sekolah, gue markir motor gue di bawah pohon. Entah pohon apa, gue lupa namanya. Sebenarnya ada tiga tempat parkir yang ditutupin atap gitu, tapi markirnya dalam banget dan banyak Kakak kelas. Gue nggak suka, ngeluarin motornya lama karena desak-desakan gitu. Jadi gue markirnya di bawah pohon aja biar pas pulang ngeluarinnya cepat. Kalian tahu, tempat parkir di bawah pohon ini adalah tempat parkir keramat gue. Soalnya gue selalu markir motor disitu selama tiga tahun berturut-turut sampe lulus MAN.
Oke, kembali lagi ke cerita.
Gue jalan menuju kelas melewati lapangan. Sebenarnya bisa sih ngelewatin koridor kelas lain, tapi gue nggak suka jalan di wilayah kekuasaan anak lain. Karena gue lewat lapangan, otomatis gue dalam posisi tengah. So, jadi bahan lihatan orang-orang. Gue mah santai-santai aja masang ekspresi nggak peduli.
Sesampainya di kelas, gue kaget lihat Rinna udah dateng dan sekarang ia lagi nyapu bagian lantai tempat duduk kita berdua aja. Perlu kalian ingat, tiga tahun ke depan Rinna itu selalu punya kebiasaan kalau nyapu cuman di daerah kekuasaannya aja. Yang lain mah ia nggak peduli. Kadang misalnya ada sampah gitu di daerah kekuasaannya, ia bakal nendang tu sampah jauh dari kekuasaannya bukannya di buang di tempat sampah. Kami pernah bertengkar gara-gara sampah aja, ntar gue ceritain di part berikutnya.
Gue pun duduk di kursi trus ngeluarin botol minum tupperware kesayangan Mimih gue. Isinya air putih anget. Gue minum tuh lalu gue tempelin botolnya ke pipi gue. Enak, anget-anget gitu. Setelah itu gue taroh botolnya di meja gue.
"Sy, lo bawa buku?" tanya Rinna.
"Bawa, satu doang."
"Gue bawa buku tulis tiga, takut hari ini ada pembelajaran."
"Yaelah! Dulu waktu SMP, minggu pertama itu kita free."
"Jaga-jaga aja sih."
Dug
"Aduh!"
"Sorry...sorry."
Gue megang perut gue yang kejedot ujung meja, sakit euy. Cowok itu nggak sengaja nyenggol meja gue. Gue nampakkin wajah sangar. Ia kabur gitu aja keluar kelas. Untung ganteng. Namanya Reza, putih, cakep dan tingginya sama kayak gue. Kelihatannya sih kalem, nggak tahu deh kedepannya. Kalau kalian nanya siapa cowok terganteng di kelas, ya Reza orangnya. Itu di mata gue sih ya.
EH??!!!
Tiba-tiba gue refleks nyari posisi tupperware kesayangan Mimih gue, syukurlah...untung nggak jatuh. Gue merasa lega. Kondisinya masih mulus dan kinclong. Kalau tupperware-nya kenapa-kenapa, ntar gue yang kenapa-kenapa di rumah. You know lah.
Gue bersandar di kursi sambil memperhatikan anak-anak pada masuk kelas. Gue memperhatikan Henry, cowok yang mirip sama cowok yang gue suka lagi SD hehe. Penampilannya biasa aja sih, nggak ada yang mencolok. Ia duduk di bagian paling belakang banget, pindah duduk dia. Cowok yang kelihatannya nyaman diajak temenan ya si Henry.
"Sy, lo bawa buku tulis berapa?" tiba-tiba Henry nanya ke gue, otomatis gue kaget. Ternyata dia tahu nama gue.
"Gue bawa satu doang, emang lo nggak bawa buku?"
"Nggak."
"Ya udah beli gih di kantin keburu jaros," kata gue nyaranin.
"Emang di kantin ada jualan buku? Dimananya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Não Ficção[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...