Panik adalah semacam kecemasan dengan ciri diserang rasa takut selama beberapa menit, timbulnya perasaan bahwa suatu bencana akan terjadi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan diri. Contohnya seperti gue saat ini.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Terlihat barang-barang berantakkan karena ulah sendiri. Hanya gue yang masih berada di rumah, yang lain udah berangkat menuju tujuan masing-masing. Gue lupa hari ini harus bawa foto 3x4 untuk dipajang di meja guru. Gak ada waktu lagi ke tempat percetakan.
Sebenarnya wali kelas udah nyuruh untuk membawa foto 3x4 pada minggu lalu. Gue baru ingat sekarang saat di grup pagi-pagi udah heboh membicarakan itu. Katanya wali kelas ingin membuat bagan tempat duduk kelas yang diisi nama dan foto agar para guru hapal dengan murid-muridnya.
Otak gue terbesit dengan berkas-berkas waktu SMP. Gue buru-buru ke tempat dimana ada penyimpanan berkas-berkas penting waktu SMP. Semua berkas dikeluarkan, mata gue dengan cepat men'scan semua berkas. Ketemu, ada satu foto waktu SMP yang tercecer disana.
Senyuman gue merekah, memikirkan ide busuk. Tanpa berpikir lama, gue membersihkan berkas-berkas tersebut. Gue buru-buru berangkat ke sekolah secepat kilat.
***
Semampu gue berusaha mengejar waktu. Sambil berdoa, agar bel sekolah belum berlalu. Di sekolah suasana cukup sepi. Dengan langkah seribu, gue segera menuju kelas. Selamat, bu guru belum datang. Untuk pertama kalinya gue telat datang ke sekolah. Padahal gue anak yang suka kepagian datang ke sekolah. Sampai-sampai banyak yang julukin gue si 'penunggu' kelas.
"Tumben telat?" tuh kan, aneh kalau gue telat. Nanda dengan wajah imutnya masih menunggu jawaban dari gue. Rinna yang ikut penasaran juga menampakkan wajah penuh penasaran.
"Gara-gara ini nih!" Gue mengeluarkan foto gue waktu SMP. Sumpah, masih bocah dan penuh kepolosan. Mereka tergelak tertawa.
"Foto waktu zaman apa nih, anjir lah!" Nanda mengambil foto itu dengan cepat dari tangan gue, mereka melihat foto polos gue dengan puas.
"Waktu zaman Megalitikum," kata gue nyengir dan duduk di kursi.
Tak jauh dari kami, terlihat Emma dan Dewi membawa gulungan besar. Mereka menuju meja guru dan membentangkan gulungan tersebut. Ternyata itu bagan tempat duduk kelas. Gue ngelirik foto gue, entah kenapa gue jadi malu sendiri.
"Teman-teman, perhatian!" kata Emma menggebrak meja.
"Semua fotonya bawa ke depan! Mau ditempelin nih, cepetan!" sambung Dewi.
Otomatis kami membawa foto masing-masing menuju meja guru. Gue masih nyembunyiin foto gue, kayaknya cuman gue yang bawa foto seragam SMP. Rata-rata mereka membawa foto dengan seragam MAN. Hanya bisa pasrah dengan keadaan.
"Mana foto lo Sy?" pinta Dewi.
Sekarang giliran gue, dengan berat hati gue mengeluarkan foto polos gue waktu SMP. "Nih."
"Loh? Seriusan ini?" kaget Dewi, gue menggangguk dengan yakin. Anak-anak yang lihat foto gue jadi heboh dan nahan tawanya. Emma pun menempelkan foto gue ke bagan dengan geleng-geleng kepala.
"Woi Abi! Reza! Foto mana?" kata Emma saat Abi dan Reza baru datang ke kelas. Mereka bukannya telat, tapi habis mojok di kantin. Mereka berdua melemparkan tas begitu saja dan menghampiri meja guru.
Alangkah terkejutnya kami dengan kenyataan bahwa Abi membawa foto waktu SD dan Reza membawa foto waktu TK. Iya, demi apa gue gak ada apa-apanya masih. Semuanya langsung ngakak. Para cewek-cewek langsung penasaran sama foto Abi dan Reza saat masih bocah. Lebih parah dari gue memang.
***
Bunyi bel istirahat terdengar nyaring di penjuru sekolah, seperti biasa suaranya mengatakan kalau pelajaran telah usai dengan berbahasa Inggris dan Indonesia. Sampai-sampai gue hapal kalimatnya karena sering didengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Non-Fiction[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...