Seperti biasa gue sarapan pagi bareng adek gue si Lia. Kami ngobrolin hal kocak yang membuat kami tertawa di pagi hari. Mimih negur kami berdua, tapi yang dimarihin gue. Katanya, jangan mau diajak ngobrol sama gue nanti keburu telat. Padahal kan yang ngajak ngomong duluan ini bocah. Kakak memang selalu salah dan adik selalu benar.
"Kak cuciin piring gue ya! Semangat!" Dia kabur gitu aja sambil ketawa-ketiwi.
"Ingat ya, lo kalau udah SMP gue perbudak!" teriak gue. Lihat aja nanti kalau dia udah SMP gue suruh bersih-bersih rumah. Kesel lah lihat dia dimanja mulu.
Sesudah itu, gue buru-buru berangkat. Tanpa tahu diri, gue berangkat nggak pake helm, nggak punya KTP, nggak punya SIM dan pajak kendaraan sudah mati. Lengkap sudah semuanya, dilarang keras untuk ditiru. Gue tuh nggak mau ngerepotin orang tua, orang tua gue sibuk. Lagian sekolah gue juga dekat dan sebenarnya bisa aja jalan kaki, tapi gue nggak mau capek. Gue udah kurus, kalau gue tiap hari jalan kaki kek gitu yang ada malah dilihat bukan manusia tapi tengkorak berjalan.
Sesampainya di sekolah, gue markir kendaraan di bawah pohon. Gue menuju ke kelas gue yang kelihatan angker. Entah, apa cuma gue ya yang merasa kelas gue ini rada-rada ada mistisnya. Sejak pertama kali melihat kelas ini rasanya tuh ada aura yang nggak nyaman.
Di dalam kelas sudah ada Rinna yang seperti biasa nyapu di bawah bangkunya aja. Bangku gue nggak sekalian di bersihin. Gue ngambil sapu dia dan nyapu bersihin daerah kekuasaan gue.
Tak lama murid-murid kelas X IPA 1 mulai bermunculan. Mereka kebanyakan akrab satu sama lain karena berasal dari sekolah yang sama. Lah gue sama Rinna aja nggak tapi akrab. Jadi kami hanya menonton perbicangan mereka, kalau mereka tertawa kami ikut tertawa. Entah apa yang dibicarain, kami ikut tertawa bodoh aja.
Cewek yang paling banyak jadi sorotan adalah Emma. Emma baru aja dilantik jadi ketua kelas kami. Orangnya terbuka pada siapa aja, ceria, pandai dalam kepemimpinan tapi kadang-kadang alaynya kebangetan. Kali ini dia lagi ngatur jadwal piket sama sekretasis yang namanya Dewi.
Gue ngelirik Henry di kursi belakang yang lagi bercanda sama Nanda. Nanda itu mukanya imut tapi suaranya rada laki, kan nggak sinkron. Gue baru tahu mereka berdua seakrab itu. Bukannya gue cemburu, gue samasekali nggak punya perasaan sama dia. Gue cuman penasaran sama hubungan mereka.
Tiba-tiba jaros berbunyi. Mereka semua menghentikan aktivitasnya dan kembali ke kursi masing-masing. Hari ini masuk Pak guru yang kelihatannya friendly banget. Wajahnya keluar aura kekocakkan, hehe ampun Pak.
"Hello everybody!"
TUH KAN.
"Udah baca doa?" tanya Pak guru dengan wajah ramah.
Pertanyaan ini lagi nih.
"Udah!" Noh si Abi ngomong gitu lagi.
"Belum pak!" Loh eh, Emma si ketua kelas jujur nih. Salut gue sama dia.
"Sudah." Abi masih aja nyahut.
"Loh yang benar yang mana?" Pak guru masih berwajah santai.
"Belummm," jawab kami serentak. Abi hanya bisa cengar-cengir tanpa dosa di belakang sana.
"Ya udah, mari kita baca doa sebelum belajar."
"Doanya yang kayak gimana nih pak?" tanya seorang cowok yang entah siapa namanya.
"Doa belajar waktu kalian MTS."
Kami mengangguk dan mulai membaca bismillah. Setelah itu gue baca doa sebelum belajar yang pernah diajarin waktu SMP dengan suara lantang. Tiba-tiba semua mata ngelirik gue, iya semuanya. Ternyata doa sebelum belajar gue waktu SMP beda sama doa sebelum belajar anak MTS. Gue langsung diam. Mereka kembali mengulang dan gue ngikutin kek orang lipsync. Kebanyakan anak IPA 1 berasal dari sekolah agama gitu dan doanya sama. Doa sebelum belajarnya pun lebih panjang dari doa yang pernah gue pelajari.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Non-Fiction[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...