"Razia!"
Terdengar suara cowok jauh dari kelas kami. Suaranya kurang jelas membuat seisi kelas tidak memperdulikan hal tersebut. Tidak ada guru membuat kami menyibukkan diri dengan hal-hal yang menyenangkan.
Gue sedang asyik mainin hp, kali ini lagi main game makeup. Kekanakan banget memang. Cuman iseng-iseng download di playstore karena gak ada kerjaan malah jadi keasyikan. Sekolah kami memang dilarang keras membawa hp, tapi bukan gue namanya kalau gak melanggar aturan. Cuman beberapa anak yang berani bawa hp ke kelas.
Tiba-tiba Abi dan Reza masuk ke dalam kelas dengan berlari. Entah kenapa mereka panik gitu dan kelas menjadi ribut. Gue masih asyik mainin hp, sambil melirik mereka kebingungan. Karena penasaran, gue menghampiri gerombolan di dekat pintu masuk kelas.
"Kenapa?" gue bertanya kepada Emma. Kebetulan cuma Emma yang paling dekat dengan gue berdiri.
"Razia!" katanya panik.
"Huh?! Yang bener?" kaget dong gue.
"Iya, tuh anak-anak lagi nitip ke Reza sama Abi. Mereka mau nyimpan di jok motor." Emma nunjuk Abi yang membawa sekantong plastik hitam berisi hp anak-anak.
Tanpa babibu gue langsung berlari ke meja ngambil hp gue. Niatnya pengen ikut nitip. Tapi baru aja mau keluar kelas, Reza dan Abi udah hilang. Apesnya di depan gue sekarang ada guru-guru yang udah siap merazia kelas kami. Mampus.
"Cepat masuk kelas!" Bu Yuli selaku guru Biologi yang dikenal sebagai guru killer menyuruh kami masuk kelas. Bu Yuli didampingi dua guru yang siap membantunya merazia seisi kelas. Aura kegelapan pun muncul.
Otomatis gue kembali ke kursi gue dengan lemas. Gue bingung mau nyimpan hp dimana agar gak ketahuan. Sumpah panik banget, muka gue pucat dan tubuh gue panas dingin. Hp gue masih di kolong meja. Otak gue berpikir lebih keras daripada ngerjain ulangan sebelumnya.
"Semua cewek berdiri di depan kelas dan semua cowok berdiri di belakang kelas!" perintah Bu Yuli. Abi dan Reza datang dan beralasan habis dari toilet. Hebat tu orang.
Tanpa berpikir panjang, hp-nya gue sembunyiin di dalam sepatu. Gue maju ke depan dengan masang wajah pura-pura tenang, padahal udah jantungan dari tadi. Seharusnya gue jalan dengan tinggi sebelah, tapi gue paksa biar jalannya seimbang. Bayangin ada sesuatu yang ngeganjel di sebelah sepatu sebesar hp dan kalian paksa buat jalan normal. Gila susah banget.
Seisi ruangan pun di geledah, semua isi tas juga di keluarin. Sejauh ini mereka tidak menemukan apa-apa. Gue masih masang wajah santai tanpa beban. Tangan gue udah sedingin es kutub utara saking gugupnya. Dewi ngelirik gue, dia melihat aksi sepatu tadi. Gue hanya tersenyum menyedihkan. Dia cuman bisa geleng-geleng kepala nahan tawa.
"Semua baris, Ibu bakal periksa satu per satu." sekarang kami disuruh baris dan seluruh tubuh kami bakal di periksa. Buset cobaan apalagi ini. Lama-lama jantung gue gak bagus untuk kesehatan. Para cowok di belakang kelas di periksa pak guru dan bu guru memeriksa kami yang berada di depan kelas. Dewi natap gue dengan wajah khawatir. Gue masih tersenyum bodoh.
Sekarang saatnya gue diperiksa. Gue masih masang wajah tersenyum memainkan peran tidak bersalah. Bu Yuli mulai memeriksa bagian rambut kalau saja rambutnya diwarnai. Rambut kami tidak boleh keluar dari kerudung, jika keluar bakal langsung dipotong. Kami juga harus memakai daleman kerudung agar rambut depan tidak terlihat. Bagian kepala lulus.
Setelah itu bagian lambang baju harus lengkap. Baju kami panjangnya harus sama dengan lengan kami. Semua itu di ukur dari ujung jemari kami. Bagian badan lulus. Bu Yuli natap gue, seperti biasa gue nyengir tanpa takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Non-Fiction[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...