Hari senin. Hari yang jadi awal kegiatan rutin sehari-hari, dimana di cap hari yang paling dibenci sebagian anak sekolah. Upacara bendera selalu diadakan agar siswa datang lebih pagi dari biasanya. Semua siswa harus datang lebih pagi kalau tidak ingin ikut upacara bendera dari luar pagar sekolah. Terlebih lagi jika terlambat akan berhadapan dengan guru BP, dicatat identitasnya dan diperingati, atau bisa jadi dapat hukuman lebih berat.
Hari yang cukup cerah, menandakan upacara akan berjalan lancar. Hembusan nafas berat terdengar, mengingat setelah selesai upacara akan diadakan ulangan Matematika. Jiwa semangat di pagi hari mulai padam. Ulangan Matematika akan tetap berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan.
Setelah upacara bendera selesai, anak sekelas langsung berlari menuju kelas. Sungguh hari yang sibuk, anak sekelas belajar di meja masing-masing. Aura mencengkam terasa karena Guru Matematika kami cukup ganas jika menyangkut nilai dibawah 80.
Gue membaca malas rumus-rumus yang sudah tercatat rapi di buku. Disamping, Rinna sibuk mencatat rumus untuk contekkan. Gue terkekeh pelan melihat betapa semangatnya ia mencatat semua rumus tanpa mengerti cara menggunakan rumusnya bagaimana.
"Ibu Ibu...!" Abi lari terbirit-birit memberikan tanda bahaya bahwa Ratu penguasa akan segera tiba.
Semuanya mulai duduk rapi dengan menyiapkan kertas kosong selembar dan alat tulis di atas meja. Tak lama, Bu Guru memasuki kelas dengan hawa cukup menakutkan. Kami berdoa terlebih dahulu sebelum memulai ulangan tersebut.
"Keluarkan kertas kalian, tidak ada benda lain selain kertas selembar dan alat tulis kalian. Dilarang mengobrol dan mencontek, jika ketahuan saya suruh keluar!"
"Baik, Bu..."
Kami mulai menulis identitas kami di lembar jawaban ulangan matematika tersebut. Perasaan gugup juga terasa karena membayangkan soal yang susah. Setelah soal dibagikan bisa dibilang ada yang mudah dan susah. Gue mulai mengerjakan soal yang mudah dulu agar tidak membuang waktu.
Rinna mulai terlihat resah karena tidak bisa menjawab satu soal pun. Melihatnya yang sungguh malang, gue membiarkan lembaran jawaban gue terlihat. Rinna memperlihatkan wajah berterima kasih saat itu.
Ketika ingin menjawab soal berikutnya mata gue mengarah ke anak-anak lain, hanya sekadar ingin melihat raut wajah mereka. Tiba-tiba mata gue bertemu mata Bintang. Kami menahan tawa karena sibuk menatap raut wajah anak-anak di kelas.
"Lo udah selesai?" Bintang membuka mulut tanpa suara. Tapi gue paham melihat mulutnya berkomat kamit.
"Tinggal satu lagi." Kata gue mangap mangap tanpa suara.
"Ih sama" kata Bintang mengap-mangap tanpa suara.
"Sisy! Bintang! Keluar!!"
Kami berdua terkejut setengah mati dikala suasana yang awalnya hening itu muncul suara dahsyat dari Bu Guru. Kami berdua menunduk takut. Kami memang salah, namun kami tidak saling memberi jawaban.
"Bawa kertas ulangan kalian dan lanjutkan di luar!" Bu Guru kembali berteriak.
Kami berdua bergegas keluar kelas dengan membawa peralatan seadanya. Bu Guru menyuruh kami mengerjakan di bawah lantai keramik dingin dan membuat kami duduk berjauhan.
Bu Guru pun kembali masuk ke kelas. Sungguh malu sekali kami diperlakukan begini. Kami berdua saling tatap dan mengulum senyum masing-masing. Kami kembali mengerjakan soal dengan pose yang bisa dibilang menyedihkan.
"Uh kasihan."
Entah siapa yang meledek, kami langsung mencari sumber suara. Ternyata Rhys sedang meledek kami. Gue kembali fokus mengerjakan soal. Namun tak lama terdengar suara lagi, ternyta Rhys membawa teman-temannya dari XII IPA 2 agar mentertawakan kami. Kurang ajar memang. Belum lama mengenal Rhys, tapi rasa tidak suka mulai terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Non-Fiction[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...