Gue melangkah masuk ke dalam kelas dan menarik nafas dalam-dalam. Disana terlihat Nanda mengeluarkan ipod dan memasang earphone ke telinga, sambil memberikan senyuman kepada gue. Gue hanya bisa tersenyum tipis, tidak tahu harus berkata apa dan menuju tempat duduk. Kebetulan Rinna datang, membuat gue mengurungkan diri untuk duduk dan membiarkannya masuk terlebih dahulu untuk duduk.
"Apa nih?"
Gue mendongkak dan menatap Rinna mengambil secarik kertas yang menempel di antara meja kami. Gue mengerjab satu kali, seolah-olah baru tersadar dari lamunan. Sebelum gue membuka mulut, Rinna cepat-cepat berkata, "Ada surat minta nomor wa dari kelas XII IPA 2." Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, "Kakak kelas minta nomor wa gue atau elu sih Sy?"
Gue menggerakkan tangan terulur untuk mengambil secarik kertas tersebut. Gue menunduk dan membacanya, tulisannya seperti tulisan laki-laki yang biasanya tidak rapi. Secarik kertas tersebut tepat diletakkan di tengah meja kami, membuat kami bingung surat tersebut ditujukkan pada gue atau Rinna.
"Gue sih pastinya gak bakal kasih. Kalau lo mau ngasih, kasih aja." Gue mengambil tupperware yang isinya air hangat dan meminumnya dengan tenang.
"Serius nih? Lo gak penasaran gitu siapa orangnya?" tanya Rinna yang sepertinya tertarik untuk membalas pesan tersebut.
"Hooh...bodo amat."
Gue merebahkan kepala di meja, pikiran mengenai Rafa anak Bahasa terngiang-ngiang di kepala. Cowok tersebut sering menyapa gue kalau kami berpapasan dan tidak lupa senyuman manisnya. Apalagi kemaren ketika Intrakurikuler Pidato Bahasa Inggris, gue sedang duduk sendiri di bangku panjang dan dia tiba-tiba duduk di samping gue untuk mengobrol ria. Mati kutu gue, malunya gak ketulungan karena dia pasti mengira gue ngejar-ngejar dia karena minta nomor wa-nya.
Tiba-tiba Bintang datang membawa gitar. Kami semua yang berada di kelas melongo dibuatnya. Dia menahan senyum, tidak disangka Nanda menggebu-gebu ketika Bintang membawa gitar. Ternyata mereka berdua berniat membuat konser dadakan di kelas ini. Nanda memang suaranya merdu dan bagus, sedangkan Bintang cukup jago memainkan gitarnya.
Para boyband datang secara bersamaan, biasa mereka baru aja dari kantin sarapan pagi. Didahului Abi yang songongnya minta ampun berjalan sambil menyisir rambutnya. Melihat para gadis berkumpul mengelilingi Bintang dan Nanda yang konser cukup menarik perhatian.
"Woi! Ini bukan saatnya kita konser." Abi berdiri kokoh dan menggebrak meja guru. Seperti biasa bajunya dikeluarkan dan tasnya di sampirkan ke samping.
"Wah gila gila, kelas lain udah pada berburu!" tiba-tiba Dinda berlari masuk ke dalam kelas dan heboh sendiri.
"Anjir, kita gak boleh ketinggalan." tambah Dewi yang mengikuti Dinda dari belakang.
"Gue juga mau bilang itu, ah lu pada nongol gak jelas dan mengganggu aja. Jadi intinya kita harus berburu harta karun sekarang!" kata Abi dengan tegas membuat kami bertanya-tanya apakah yang sedang mereka bicarakan.
"Jadi guys, semuanya tolong dengerin. Sekarang adalah musim buah, seluruh buah di sekolah kita udah siap panen. Anak-anak kelas lain udah terlihat berburu dimana-mana, kita tidak boleh berdiam diri dan melihat mereka menikmatinya sendiri. Jangan sampai kehabisan dan ketinggalan!" kata Dewi berbicara dengan serius.
"Benar, kita udah buang-buang uang untuk sekolah disini dan bodoh jika menyiakan harta karun ini. Tunjukkan kekuatan dari XI IPA 1!" kata Abi teriak.
"Wohooooooo!" Ucap seisi kelas serentak. Gue cuman melongo doang memperhatikan satu kelas jadi kompak begini. Konser dadakan pun bubar dan semuanya mulai keluar dari kelas dan memakai sepatu masing-masing. Gue dan Rinna ikut-ikutan keluar dari kelas berniat ikut berburu harta karun.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Non-Fiction[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...