Jam istirahat sudah berdering sejak tadi, namun gue hanya bisa merebahkan kepala di atas meja tanpa berbuat apa-apa.
Kok nggak ke kantin?
Istirahat pertama tadi udah gila-gilaan makan. Perut gue gak mampu lagi menampung makanan. Bersebelahan, terlihat Rinna tidur dengan posisi membelakangi.
Mata gue beralih ke belakang karena merasa ada aktivitas. Disana Emma si ketua kelas yang memiliki badan mungil kesusahan meletakkan jam di dinding.
Gawat, gue harus pura-pura tidur. Bukannya apa, badan gue termasuk tinggi (165 cm) pasti gue jadi sasaran empuk untuk diminta bantuan. Please, jangan panggil gue. Gue mager.
"Dwi, bantuin! Nggak bisa." Emma meminta bantuan kepada Dwi sekertaris kelas yang memiliki badan lumayan tinggi.
"Nggak nyampe, dikit lagi sih. Siapa yang badannya lebih tinggi ya?" Begitu kata Dwi saat sudah mencoba membantu.
"Sisy! Tolong dong."
MAMPYUSZ.
Gue pura-pura mengerang dan meregangkan tangan. Mata gue seolah-olah dibuat sayu habis bangun tidur.
"Kenapa?" ceritanya pura-pura nggak dengar.
"Sy, badan lo kan tinggi. Bantuin dong, ini tinggal nyantolin ke paku aja." Dwi mulai merayu dengan jurus andalannya.
"Iya, ya." nyerah dah.
"Lo naik kursi, entar kursinya gue pegangin." Kata Emma.
Gue naik ke atas kursi agak ragu, tiba-tiba kepala gue terasa pusing. Gue termasuk orang yang takut akan ketinggian. Phobia ketinggian sih nampaknya. Meski begitu, gue nggak mau bilang ke siapa-siapa. Akhirnya tetap nggak sampai, padahal tinggal sedikit lagi.
"Naik ke atas meja aja, pasti sampai." Emma mengusulkan ide. Emma dan Dwi mulai mengangkat meja. Gue mulai khawatir, naik meja berarti ketinggiannya akan semakin meningkat. Perasaan gue mulai nggak karuan.
Mata gue mencari sekeliling meminta bantuan dalam hati. Di kelas cuman ada satu cowok yaitu Ucup yang memiliki tinggi badan lebih rendah daripada gue. Etdah.
Terpaksa bidadari ini melupakan phobianya. Pertama gue naikin kursi setelah itu gue mulai naikin meja. Takut-takut jatuh, gue berpegangan pada dinding seperti cicak yang nemplok.
"Nih jam-nya." Dwi menyodorkan jam dinding, tangan gue sedikit bergetar mengambilnya.
Mata gue fokus pada paku, sambil berjinjit kaki untuk menyamaratakannya. Padahal tinggal dikit lagi, tapi karena gue yang ketakutan, susah nyantolinnya ke paku dengan pas.
Tak lama datang para boyband. Anak cowok kelas kami memang kebiasaan pergi ke kantin sama-sama, hal ini diketuai oleh Abi dan wakilnya Reza. Sisanya anak buahnya yang ngikutin. Makanya kami para cewek menyebut mereka boyband. Ucup dan Henry nggak termasuk. Ucup selalu sendirian pergi ke kantin dan Henry selalu ke kantin sama teman-temannya di kelas lain.
"Ngapain dah kalian?" Abi memasang wajah bingung. Boro-boro membantu, ia hanya sekadar ingin tahu saja lalu pergi menuju ke kursinya. O ya gue lupa, kita kan masih dalam situasi war.
Seperti biasa penampilan Abi paling beda, baju di keluarin, rambut diacakin sok iye, celananya sempit kayak anak boyband dan wajahnya pengen gue tampol. Dibandingkan seram muka Abi ini lebih menjurus ke pelawak ngeselin gitu. Anak-anak cowok lain masih normal dan belum berani bertindak seperti itu karena masih anak baru.
"Coba lo turun, biar gue bantu."
Entah suara siapa itu, gue mencari sumber suara penolong tersebut dengan celingak-celinguk. Ternyata Bima si Malika berdiri dekat meja sambil ngeliatin gue. Gue senyum, Malika sekarang berubah menjadi malaikat.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Документальная проза[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...