XI IPA 1

616 50 38
                                    

Hari telah bergulir sangat cepat, hingga tak terasa kini kami berada di tahun ke dua. Tahun pertama adalah tahun perkenalan, banyak sekali orang-orang yang masih memakai topeng untuk tidak melihatkan dirinya yang asli di depan publik. Masih banyak orang yang belum didekati untuk saling menjalin pertemanan lebih dekat. Beberapa menutup diri dan beberapa membuat pertemanan sendiri.

Bisa dibilang semua itu cukup normal. Gue sendiri mengakui bahwa tahun pertama cukup berat untuk gue jalani. Pikiran pindah sekolah terus menghantui karena tuntutan hapalan, saingan, dan tugas yang begitu banyak. Hingga akhirnya gue memutuskan untuk tetap di sekolah tersebut untuk bertahan. Kenapa masih bertahan? Karena gue udah gak bisa melupakan setiap momen yang gue jalani di sekolah ini.

Tahun ini masih dengan orang-orang yang sama. Cukup beruntung karena saat wali kelas ingin memberitahukan bahwa kenaikan kelas akan di rombak, kami serempak menolak dengan keras. Bukannya apa, kami sudah merasa cukup nyaman sekelas dengan orang-orang gila ini. Pasti agak susah untuk mencoba beradaptasi dengan orang-orang baru.

Kami yang selalu di anggap oleh kelas lain sebagai anak-anak dingin, kutu buku, sombong, dan hal-hal lainnya. Mereka tidak tahu, jika kelas ini hanya memperlihatkan kegilaan mereka untuk seisi kelas kita saja. Guru-guru yang selalu datang memuji kami dan selalu berkata tidak baik untuk kelas-kelas lain, kami hanya bisa tersenyum dalam diam.

Hanya kelas kami yang dijadikan panutan dan dianggap kelas terbaik. Selama setahun, kelas kami bersih tidak ada pelanggaran murid yang terkena razia. Nyatanya kami semua membawa gadget, jika ada razia kami bekerja sama menunjuk satu orang untuk melompat ke jendela dan menyembunyikan semua gadget di parkiran. Satu orang itu akan datang terlambat dan beralasan baru datang dari toilet. Bisa dibilang kelas kami ini sangat kompak untuk hal berbau kotor.

DUG

Lamunan gue ambyar ketika sebuah bola hampir aja mengenai wajah gue. Bola itu memantul di atas meja gue dan menggelinding di lantai. Mata gue membulat dibarengi jantung yang berdetak keras. Seorang pria mengambil bola tersebut dan melemparkan senyuman ke arah gue.

"Main bola tuh di lapangan! Jangan main dalam kelas," kata gue marah.

"Bukan gue. Abi yang ngelempar." pria yang baru saja mengambil bola tersebut menunjuk Abi yang menaikkan alisnya dengan angkuh. Pria itu bernama Aji, cowok yang dianggap cowok termuda dan dianggap bocah sama seisi kelas. Kata bocah cocok untuk dirinya yang memiliki badan paling rendah di antara para cowok di kelas.

"Santai aja kali! Gak kena juga." begitu kata Abi tanpa tahu malu. Gue memalingkan wajah, males meladeni orang bahlul.

Mereka kembali bermain bola di dalam kelas, sumpah bikin kesal aja. Gue yang takut kena bola, kini beralih duduk ke pojok kelas dekat jendela. Gue memperhatikan kelas kami waktu kelas X, masih tetap terlihat angker. Kelas kami sekarang cukup nyaman. Namun gue gak bisa bilang kelas ini aman. Depan kelas XI IPA 1 ada dua pohon sawo besar, hingga membuat kelas ini cukup rindang. Bibir gue ketarik ke atas kerena menikmati udara segar.

DUG

"Duuhhh, gue mulu jadi sasaran. Kalau kena kepala gue gimana?!" gue memegang bola yang hampir kembali mengenai gue.

"Sorry...sorry gak sengaja." kini Bima pelakunya.

"Please, main itu bisa gak di luar aja." gue sedikit memelas.

"Ini bukan jam olahraga, kalau ketahuan guru olahraga bisa mampus kita." jelas Bima.

"Ya udah, nunggu jam olahraga aja." jawab gue simple.

"Gak bisa, kami mau main sekarang! Bim, rebut bolanya!" teriak Abi.

Gue yang lengah, membuat Bima berhasil merebut bola tersebut. Gue hanya bisa pasrah. Hari pertama sekolah memungkinan banyak pelajaran kosong hingga membuat mereka kurang kerjaan. Sedikit bingung, kenapa cuman gue aja yang risih para cowok main bola di kelas. Bukannya jika terkena bola cukup berbahaya.

IPA 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang