Abi

962 115 93
                                    

Udah lewat satu bulan gue sekolah disana dan beban itu mulai terasa. Entah kenapa rasanya begitu berat untuk menjalani semuanya dengan santai. Tugas individu, tugas kelompok, ulangan semua matpel per-bab dan hafalan surah wajib menjadi momok utama yang membuat gue stres. Kalau gue gak bisa menuntaskan hafalan 6 surah wajib ini, gue bakal berakhir menjadi siswa yang tidak naik kelas seperti si anak agama. Masalahnya bagaimana bisa gue meluangkan waktu menghafal kalau tugas yang lain menumpuk seperti itu.

"Aishhh." Gue merebahkan kepala di atas meja.

"Kenapa?" Rinna yang baru datang menghampiri gue yang lagi badmood. Dia duduk di samping gue sambil meletakkan tasnya.

"Rin, lo ngerasa tertekan gak sih sekolah disini? Batin gue mulai tersiksa."

"Iya sih, gue ngerasa gitu juga. Namanya juga sekolah agama yang berakreditas A."

"Gue tuh mikir baru awal aja kita udah gini gimana seterusnya. Aduh gue takut ranking gue jatohnya bikin sakit hati." Gue manyun sedih.

"Heh, lo gak lihat nilai ulangan gue kemaren anjlok semua. Lo mah nilainya masih mendingan. Coba lo pikir gimana gue, ranking gue pasti jatohnya bikin mati hati."

Sebenarnya bukan hanya kami yang mengeluh seperti ini, anak-anak yang lain juga sering mengeluh demikian. Sekolah ini penuh dengan hafalan, bukan hanya hafalan surah wajib, namun mata pelajaran Bahasa Inggris setiap pertemuan diwajibkan menghafal dialog panjang hingga kami naik kelas. Bahasa Arab pastinya, penuh hafalan kosa kata yang begitu banyak setiap pertemuan. Doa-doa yang muncul di buku Fiqih, Al-qur'an hadits, Akidah Akhlak pun harus kami hafal karena semua itu akan ada muncul di ulangan harian. Ah mengingatnya saja membuat kepala pusing.

"Eh, Rin lo piket. Gue udah nyapu tadi dibarisan ini, di ujung sana belum tuh." Gue nunjuk di daerah pojok sana.

Rinna tanpa menjawab meluncur mengambil sapu dan siap bersih-bersih kelas. Gue bangkit dari kursi dan melihat siapa aja yang bertugas piket hari ini. Beberapa orang yang kena jadwal piket langsung gue suruh nyapu meski baru datang. Hanya tinggal dua orang yang belum nyapu yaitu Abi dan Glenn karena mereka belum datang.

Baru aja mau diomongin, Glenn dan Abi masuk kelas terburu-buru. Gue melongo mereka berdua dengan songongnya memakai sepatu. Sepatunya itu meninggalkan jejak tanah di lantai kelas. Mata gue melotot kaget. Ya ampun nih anak, dia lupa atau sengaja.

"Woi lo berdua! Jangan pake sepatu!" teriak gue. "Gue baru aja nyapu."

Mereka berdua berhenti tepat di depan papan tulis. Glenn si wajah datar berbalik arah dan melepaskan sepatunya dan Abi tetap melanjutkan perjalanannya.

"Abi! Lo tuh ya!"

"Apa?! Bacot lu!" Ia membuang tasnya dengan kasar ke mejanya dan berlari keluar kelas.

"Lu kalau badmood jangan melampiaskan ke gue, gue yang udah badmood makin jadi!" Oke, gue marah dan kesal. Buset, gue jadi sorotan satu kelas.

"Udah Sy, sabar."

"Sabar."

"Abi emang gitu orangnya."

Malu dilihat orang, gue memutuskan untuk duduk di kursi gue. Gue mencebik kesal sambil nunggu bel masuk berbunyi. Perkataan Abi yang keras itu masih terngiang-ngiang di kepala gue. Selama ini gue gak pernah digituin sama cowok, baru pertama kali gue ketemu sama cowok sinting kayak dia.

Tak lama bunyi bel masuk berbunyi, Abi masuk ke dalam kelas. "Rin, bilangin ke Abi ya dia piket hari ini. Dia pasti pura-pura amnesia. Gue gak mau ngomong sama dia." bisik gue, Rinna hanya mengangguk.

"Bi, jangan lupa lo piket." Kata Rinna.

"Gue gak mau nyapu, entar gue buang sampah aja sama Glenn." Abi bernada santai, cih.

IPA 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang