Semenjak kejadian kesurupan di X Agama 1 yang mengharuskan tiga orang anak perempuan dibawa ke UKS, masih terngiang-ngiang di otak gue. Waktu itu, gue cuman melongo diem di tempat ngeliatin orang kesurupan. Farhan juga diem, kami pengen bantu namun udah banyak yang ngebantu. Anak-anak lain yang takut, bersembunyi di kelas masing-masing.
Gara-gara kejadian itu, anak-anak cowok terutama X IPA 1 bawa hp kamera nyari penampakan di sekolah. Iya, bener. Bahlul memang. Padahal sekolah kami sudah melarang keras untuk tidak membawa hp. Setidaknya jika ada razia, mereka bakal mati-matian nyembunyiin hpnya.
"Abi, anak IPS ngajak nyari penampakan di belakang sekolah! Ikut kuy!" Bima teriak di muka pintu.
"Kuy!" Otomatis curut-curut Abi ikutan.
Terjadilah aliansi antara anak IPA dan IPS mencari penampakan di belakang sekolah secara bergerombol. Kurang kerjaan banget memang. Jam istirahat bukannya nyari makan di kantin malah nyari hal gak guna yang bikin capek sendiri.
Gue jadi kepikiran, besok kemah PMR bakal diadain. Khawatir aja kalau para penghuni sekolah melampiaskannya ke anak-anak PMR yang mau kemah. Semoga gak terjadi apa-apa.
"Duh, apaan sih!" gue kesel tiba-tiba ada yang nyolek pinggang gue. Gue noleh ke belakang dengan raut wajah sangar, gue gak suka di sentuh-sentuh.
"Kenapa Sy?" Rinna yang lagi nyoret-nyoret di depan papan tulis penasaran sama gue yang terlihat kesal.
Gue diem dan bingung. Gue menoleh ke arah Rinna, lalu kembali menoleh ke belakang gue. Gue baru inget di kelas cuman ada kami berdua, jadi siapa yang nyolek pinggang gue tadi. Gue nelan ludah gugup, kaki gue berjalan ke belakang kalau aja ada yang sembunyi dan ngiseingin gue. Sampai ujung tembok belakang, memang gak ada siapa-siapa.
"Rin, aneh kok ada yang pegang gue ya?" Tanya gue bingung.
"Halu kali, gak ada siapa-siapa kok selain kita." jawabnya enteng.
"Tapi, tadi tuh...ah sudahlah! Keluar yuk!"
Gak mau membahas hal itu lagi, gue putuskan buat keluar kelas diikuti Rinna. Gue anggap itu hanya halusinasi. Kami duduk di depan kelas sambil ngeliatin kakak kelas selesai pelajaran olahraga. Memang cukup banyak cogan yang bikin hari ini menjadi hari yang bewarna.
Mata gue gak sengaja melihat seorang cowok sedang berbincang-bincang dengan guru yang ditugaskan untuk menyetor hafalan. Gue kesana ninggalin Rinna yang masih terpana sama kakak kelas. Gue sedikit kaget liat cowok tersebut, dia anak X Agama 2 si cowok yang meloncat pagar sekolah. Iya kakak kelas yang gak naik kelas itu.
Dia ngelirik gue sebentar, lalu kembali berbincang dengan guru tersebut. Nadanya seolah-olah dibuat manis dan terlihat sopan. Senyumnya terus merekah, bikin gue enek. Cih, di depan gue sok jagoan.
"Kalau mau, hafalannya setengah-setengah dulu bisa kok. Pelan-pelan aja gak apa-apa." Kata guru tersebut. Dari kabar yang gue dengar, cowok ini gak naik kelas gara-gara gak mehafalin surah wajib yang harus di setor setiap persemester. Iya sekolah kami seketat itu, telat gak lunasin hafalan sebelum ulangan siap-siap deh nggak naik kelas. Cukup banyak sih korbannya.
"Iya bu," Cowok itu mengangguk patuh.
"Bu, emang bisa nyetor hafalan setengahnya aja dulu?" gue nanya di tengah-tengah perbincangan mereka.
"Bisa, namun nilainya gak bisa lebih di atas KKM."
"Wah, kalau gitu saya gak mau setengah-setengah. Full aja hehe." Gue ngelirik cowok tersebut yang terlihat kesel karena gue terlihat gampang menghafal surah-surah panjang. Padahal sih gue juga mati-matian menghafal, sampe lupa makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA 1
Non-Fiction[TRUE STORY] Cerita nyata mengenai anak MAN terutama anak IPA 1. Anak IPA? Mungkin dipikiran kalian anak IPA adalah anak kutu buku, serius, pintar, unggulan dan hal positif sebagainya. Disini gue yang bernama Sisy awalnya ngira begitu juga, pikiran...