33

791 39 0
                                    


"Aku rasa, kita bertiga harus cepat mencari Felky," ujar Husain yang duduk di sebelah kembarannya.

"Iya," balas Diniya singkat sambil memakan Turkish Delight yang ia pegang.

"Aku juga merindukannya," balas Husna yang menoleh kearah kakak kembarnya, Husain.

"Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya kepada ummi dan abi dan kita akan pergi besok ke Bandung," Husain menoleh juga kearah Diniya yang menunduk.

"Apa ummi dan abi tidak marah, Sen?" tanya Husna khawatir.

"Semoga tidak," jawab Husain sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia bingung, Felky membuat semuanya menjadi lebih rumit.

***

06:00 PM

Kini Diniya sedang berdiri di teras rumah Husain. Dia hanya melamun sendirian sambil sesekali memainkan rambut hitam panjangnya.

Diniya mendengar langkah seseorang dari belakangnya. Itu Husain. Dengan cepat, Husain menarik tangan Diniya sambil berlari. Diniya langsung mengikuti Husain.

Diniya berusaha menghentikan langkahnya.

"Mau kemana?" tanya Diniya bingung.

"Ikut saja," jawab Husain singkat.

Mereka berlari dalam keadaan tangan Diniya yang ditarik oleh Husain. Jantung Diniya berdegub tak karuan, seakan-akan jantungnya itu akan lepas dari tubuhnya.

Mereka berlari cukup lama, akhirnya Husain melepas tangan Diniya dari genggamannya. Mereka istirahat di sebentar sambil menyandarkan punggung mereka di dinding bagunan dan Husain mengangkat satu kakinya.

Keringat Diniya sedikit bercucuran. Husain kembali menarik tangan Diniya dan mengajaknya ke suatu tempat.

Seakan-akan memaksa, itu dugaan Diniya. Husain terlalu terburu-buru.

Lima menit kemudian mereka tiba di selat yang membatasi antara Benua Eropa dan Benua Asia. Benar-benar menakjubkan. Deretan masjid dan istana dari Bhosporus sampai ke Laut Hitam sangat memanjakan mata, apalagi disaat senja seperti ini.

Matahari yang terbenam di ufuk barat membuat Diniya melongo. Kenapa? Indahnya sunset yang membuat matanya kembali fresh dan dia bisa menghilangkan masalahnya sebentar.

"Indah?" tanya Husain yang mengelap keringatnya dengan syalnya yang berwarna merah.

Diniya mengangguk lalu tersenyum manis kepada Husain yang juga membalas senyumannya.

"Sekarang, katakan apa yang ingin kamu katakan, Diniya," ujar Husain yang membalikkan badannya lalu bersandar pada tembok yang membatasi selat itu dengan daratan.

"Hah?" Diniya mulai salah tingkah dan kegugubannya semakin menjadi-jadi.

"Iya, katakan saja." desak Husain.

"A..ku.. men.." ucap Diniya gugup.

"Mencintaiku?" tanya Husain memastikan.

Diniya hanya mengangguk lalu menundukkan kepalanya agar kegugubannya tidak terlihat.

"Menyukaiku?" tanya Husain lagi.

Appreciate From YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang